Wednesday, March 26, 2008

Saya Dibuai Cinta Seorang Perempuan Solo;Siti Fadilah Supari

Sosok yang berhasil mereformasi sistem di WHO yang telah mapan selama hampir 60 tahun

Kata orang benci dan cinta hanya berbatas kain tipis. Orang yang membenci berlebihan ujung-ujungnya akan terjatuh pada dekapan cinta. Karena itu, orang-orang dulu sering mewanti-wanti janganlah bersikap berlebihan atas kata benci ataupun kata cinta karena bisa saja kata-kata tersebut bermetamorfosis 180 derajat atas apa yang tidak kita inginkan. Dan ternyata itu benar adanya, kata-kata bijak yang saya abaikan sekarang menimpa diri saya. Sebuah cinta yang berawal dari kebencian. Hebatnya tak ada keresahan yang mengkhawatirkan, dan saya bersyukur atas itu.

Dia perempuan Solo. Seorang dokter yang lahir dari Universitas terkemuka di salah satu kota besar di Jawa Tengah, Universitas Negeri Solo (UNS). Ia adalah DR dr Siti Fadilah Supari, Sp JP (K), seorang Menteri Kesehatan era SBY-JK.

Cinta saya pada beliau tumbuh baru kemarin sore, 25 Maret 2008. Biang keladinya sohib dekat saya, yang seorang perempuan juga. Ia baru saja datang dari kuliah umum di gedung Pasca Sarjana Undip. Kuliah Umum yang diselenggarakan Fakultas Sastra Undip yang bertajuk “Saatnya Dunia Berubah” –In the Spirit of Dignity, Transparancy and Equity- oleh dr Fadilah Supari sendiri. Ekspresi sohib saya penuh kegembiraan dan kebanggaan saat datang dan menghampiri saya. “Oh, wajar baru ketemu menteri,” pikirku.

Sejujurnya saya tak pernah berminat untuk tahu tentang sosok seorang Menteri Kesehatan era sekarang, Siti Fadilah Supari. Sepengetahuan saya, yang tentu tahu beliau hanya dari televisi, beliau adalah orang yang keras, sering ceplas ceplos dalam berbicara, kurang menghargai orang lain, dan kurang peduli terhadap orang. Tapi stigma itu mulai luntur oleh cerita sohib saya yang melihat beliau secara langsung.

Karakter yang sangat nampak pada diri beliau adalah keras dan tak mau kenal kompromi. Mungkin karena sifat itulah ditambah prinsip kerja dengan hati nurani, beliau berhasil mereformasi sistem di WHO yang telah mapan selama hampir 60 tahun. Sebuah sistem yang tanpa keadilan, ketransparanan, kesetaraan antar bangsa dalam bidang kesehatan. “Menteri Kesehatan Republik Indonesia memerangi Flu Burung bukan hanya dengan obat-obatan tetapi juga dengan ketransparanan,” the Economist (UK).

Berikut cerita singkat perjuangan Menteri Kesehatan Indonesia, Siti Fadilah Supari yang diambil dari tulisan beliau untuk kuliah umum di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang:

Sebagai catatan, setiap Negara yang terkena penyakit menular seperti Flu Burung harus menyerahkan spesimen virus secara sukarela ke GISN (Global Influenza Surveilance Network) yang seolah-olah bagian dari WHO. Virus yang telah diterima oleh GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN; kemudian diproses untuk risk assessment dan riset para pakar. Di samping itu, tanpa pengetahuan si pengirim, virus tersebut juga diproses menjadi seed virus (yang kemudian dipatenkan). Dan dari seed virus inilah dapat dibuat suatu vaksin.

Tetapi kewajiban ini tanpa diimbangi oleh pihak WHO dengan suatu keterbukaan, kemana virus itu dimanfaatkan. Ujung-ujungnya, setelah menjadi vaksin dipatenkan perusahaan farmasi tertentu yang berada di Negara maju (Amerika Serikat). Kemudian beratus-ratus juta dosis vaksin ditawar-tawarkan dengan harga sangat mahal oleh industri farmasi ke negara yang menginginkan vaksin tersebut, termasuk ke Negara-negara yang terkena Flu Burung yang notabene negara-negara sedang berkembang bahkan miskin. Kemudian saya tersentak ternyata GISN bukan bagian struktural dari WHO, tapi merupakan underjurisdiction US Government!

Kekecewaan saya semakin memuncak manakala terjadi kasus meninggalnya berturut-turut tujuh orang pada satu keluarga di Tanah Karo, Sumatra Utara. Ternyata WHO dengan semena-mena menuduh telah terjadi human to human transmission (menular dari manusia ke manusia) dengan disiarkan langsung CNN. Padahal pada pemeriksaan sequencing DNAvirus-virus yang berada di sana, ternyata masih dalam bentuk yang sama dengan yang menular dari hewan ke manusia (animal to human transmission).

Pada momentum inilah saya mendapatkan kenyataan bahwa ada ketertutupan dari WHO-CC terhadap scientist dunia, di luar scientist WHO. Bahkan saya baru tahu kalau data sequencing DNA berada di Los Alamos, New Mexico (AS). Pada kesempatan ini juga pada tanggal 8 Agustus 2006 sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia menjadi pelopor pertama di dunia untuk mentransparankan data DNA virus di Gene Bank. Hal ini sangat membahagiakan para ilmuwan di dunia karena selama 60 tahun para ilmuwan tidak bisa mengakses secara bebas data sequencing DNA dari WHO (kecuali 15 scientist). (Selengkapnya silakan baca di buku Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung karya Siti Fadilah Supari).

Untuk perjuangan yang tak kenal lelah, saya hanya bisa mangatakan salut untuk Ibu Siti Fadilah Supari. Semoga keberhasilan itu menjadi inspirasi untuk menguak ketidakberesan sistem di dunia dalam segala bidang terlebih di Indonesia tercinta sendiri. Tidak ada lagi eksploitasi bangsa yang kuat terhadap bangsa yang lemah. Dan tujuan utama menuntut kesetaraan hubungan antar bangsa akan benar-benar terwujud.

2 comments:

Anonymous said...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Smartphone, I hope you enjoy. The address is http://smartphone-brasil.blogspot.com. A hug.

Arip said...

Patut diacungi jempol usahanya, tapi adalah hal biasa bila orang menampilkan keberhasilannya. Pertanyaan utamanya, kapan keberhasilan riil mewujudkan kesehatan bagi seluruh rakyat indonesia? Sementara ada ibu di Bekasi yang anaknya meninggal tanpa pelayanan di puskesmas karena tidak punya askeskin.