Monday, July 30, 2007

Pandanglah Bintang Timur

Pandanglah bintang timur, dan kau akan tahu
Ada seberkas sinar yang membawamu pada senyum
Lorong-lorong waktu terasa tak berarti
Dan kau akan merasa bahwa sayap malaikat tiba-tiba datang pada tubuh lelahmu

Apa yang kau tanya,
Tentu tak sepatahpun kata yang bisa kau tuturkan pada-Ku
Getar-getar halus akan tampak pada tangan
Dan kau speechless

Sudahkah semakin mengerti,
Bila tidak, katakan tidak
Dan akan Kuberikan banyak lagi
Lalu kau akan tahu simbol keindahan yang sempurna

Read More......

Jiwa-jiwa Penuh Luka

Lalu mereka berdiri menatap sekat-sekat dibalik bukit cahaya
Cakrawala begitu jauh hingga tangan-tangan tak mampu meraihnya
Berdiri membisu tanpa gerak tanpa ekspresi
Jiwa-jiwa penuh luka

Lalu mereka tetap berdiri, termangu, penuh dengan aroma masa lalu
Hilir mudik angin menyibak rambut-rambut yang kering
Bibir-bibir yang pecah
Jiwa-jiwa penuh luka

Tak ada asa tak ada rasa
Tak ada ingin tak ada akan
Jiwa-jiwa penuh luka

Read More......

Tuesday, July 10, 2007

Menjual Sejarah Pribadi

Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintetis persis di depan mataku, indah tak terperi.
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, “Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?”
Ia menatapku, lalu menjawab.
“Sure lof, it’s Edensor....”.

Penutup yang cantik untuk Edensor; sebuah karya yang mengandung mimpi-mimpi. Mungkin itulah temuan terbesar dan terindah bagi Ikal karena di sana ada kesejatian cinta. Cinta Ikal pada A Ling.

Namun sayang beribu sayang, keindahan itu tak bisa dilekatkan Andrea pada keutuhan karya. Ketika membaca Laskar Pelangi misalnya, meskipun dalam kebahasaan Andrea terlihat payah, namun hal itu tertutupi oleh cerita yang menarik. Atau mungkin bisa dibilang penceritaan yang menarik. Ia menghidupkan suasana dan tokoh. Lintang sangat hidup, begitu juga Mahar. Ia mendeskripsikan sekolah Muhammadiyah yang mengenaskan dengan detail.
Sedangkan Sang Pemimpi, Andrea menulisnya lebih bagus. Keunggulan karya yang kedua ini selain kebahasaan lebih baik dan juga detail, yang terpenting adalah peramuan karya dengan joke. Ini yang jarang dimiliki kebanyakan pengarang. Karena joke itulah, Sang Pemimpi menjadi karya yang beda; ringan, enak dibaca, dan menyenangkan. Dan satu lagi yang tak bisa dilepaskan dari Andrea, semangat bermimpinya. Karya yang Inspiratif.

Edensor, karya ketiga dari tetraloginya, masih sama seperti karya-karya sebelumnya yang bermain dengan “mimpi”. Dari segi kebahasaan lumayan bagus, namun dari segi lain sangat kurang kalau tidak mau dikatakan buruk. Ada pemaksaan-pemaksaan di sana.

Pemaksaan pertama, pemborosan bab. Selanjutnya saya ganti dengan mozaik karena Andrea menggunakan kata itu untuk penyebutan bab. Dari mozaik 1, “Laki-laki Zenit dan Nadir”; hingga mozaik 8, “Wawancara”, saya tak bisa melihat maksud Andrea dengan ceritanya itu. Yang saya tangkap justru curahan hati dan kenarsisannya.

“Laki-laki Zenit dan Nadir”. Di situ diceritakan bahwa Weh adalah lelaki yang gagah dan cerdas. Namun karena ketidakmujuran nasib, ia menjadi lelaki yang kurang beruntung. Ia terkena burut, penyakit yang disebabkan karena isi perut (usus) turun dan biasanya kantong kemaluan menjadi besar (KBBI). Karena itu, ia mengucilkan diri dari kehidupan sosial. Siapa Weh? Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu. Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku (hal: 3).

Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah belajar mencintai ibuku dari orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri (hal: 12). Weh tidak lebih dari salah satu orang yang berharga bagi Andrea sendiri, karena itu, ia memasukkannya dalam cerita. Sebagai ucapan terimakasih. Weh bukan tokoh penting. Jika dianalogikan dalam sinetron Indonesia, ia adalah tokoh yang dimunculkan ketika sinetron sudah mulai diperpanjang karena rating yang cukup bagus.

Lalu, “Juru Pendamai”, “Pengembara Samia”, “Partner in Crime”, dan “Rahasia Gravitasi” (mozaik 3-6) menceritakan tentang masa kecil Ikal yang nakal. Ini masuk dalam alur perulangan. Andrea kecil sudah dimunculkan dalam Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Meski saya katakan memang beda karena cerita dalam Edensor ini adalah cerita masa kecil Ikal yang belum diceritakan pada novel-novel sebelumnya. Namun, seberapa penting cerita tersebut memengaruhi alur dan isi cerita? Membuyarkan. Ia membuat pembaca tidak nyaman.

Edensor ditunggu karena pembaca ingin mengetahui kelanjutan nasib Ikal dan Arai di luar negeri. Mereka tidak membutuhkan cerita masa kecil Ikal lagi. Inilah kenarsisan Andrea. Ia ingin banyak membuka sejarah hidupnya. Apa yang salah?

Ok, ini sebuah novel (memoar) yang sebenarnya tak masalah bila ingin menciptakan karya sekehendak hatinya, karena ia “sang tuhan”. Tapi ketika terlalu mengeksplor dirinya, tampak sekali tujuan utamanya yang sudah mulai membelok. Ia yang katanya ingin membuat karya yang mencerahkan, sudah mulai melupakan niat itu.

Kehadiran Weh dalam mozaik itu, dan beberapa mozaik setelahnya, hanya berfungsi mempertebal halaman. Atau mungkin, seperti yang saya katakan tadi, sebagai bentuk kenarsisan Andrea dan rasa terimakasihnya pada seseorang.

Ada 13 gambar dalam novel. Di antaranya gambar ikal yang dibonceng ayahnya, komidi putar, kartu wesel dan beberapa gambar lain. Semoga itu bukan bagian dari niat mempertebal halaman, namun sisi kreatif dari tim kreatif yang ingin memunculkan keindahan dalam novel. Keindahan versi mereka. Dan saya harap itu bukan bagian pemaksaan yang kedua.

Kelemahan lain Edensor adalah mozaik-mozaik pendek. Dalam Partner in Crime misalnya, hanya terdiri tiga halaman. Satu setengah halaman subbab pertama, dan satu setengah halaman subbab kedua. Subbab pertama terdiri dari tiga paragraf, paragraf yang berisi keindahan alam Belitong menjelang malam, kemudian paragraf tentang masjid, dan paragraf ketiga baru menceritakan keluarga Ikal yang memungut Arai. Arailah Partner in Crime itu. Subbab kedua kembali menceritakan keadaan ayahnya yang pusing memikirkan penggantian nama Ikal. Satu mozaik dengan beberapa cerita. Tidak fokus.

Mozaik seperti itu sebenarnya memperingan pembaca dalam menikmatinya. Namun titik kelemahan di dalamnya adalah ketidakdetailan sehingga pembaca kurang nyaman. Pembaca tidak bisa masuk dalam ruang penceritaan. Serasa seperti terpotong-potong.

Edensor, tetap punya hal menarik untuk dilahap. Pengetahuan baru tentang kebudayaan baru dengan orang-orang baru. Ya, budaya negara-negara Eropa dan beberapa Afrika yang mungkin asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Ini berkat tulisan Andrea dengan petualang-petualangannya yang menakjubkan.

Bagi saya, membaca Edensor serasa membaca laporan perjalanan Andrea. Saya kurang bisa menikmatinya. Edensor tidak senyastra Sang Pemimpi. Silakan buktikan!

Read More......

Metamorfosis Ikal dalam Karya Andrea 1 & 2

Setelah membaca laskar pelangi, yang saya rasakan adalah sebuah emosi jiwa. Ya, saya merasa masuk dalam ruang penceritaan. Saya hanyut di dalamnya. Saya ingin mengetahui bagaimana nasib tokoh-tokoh itu terutama Lintang dan Mahar. Kemudian saya lanjutkan dengan pembacaan novel sang Pemimpi, yang kata Andrea lanjutan dari kisah Laskar Pelangi.

Saya sedikit kecewa karena yang saya temukan orang lain. Bukan mereka yang membuat diri saya bergejolak ingin tahu. Lalu setelah itu, saya sadar bahwa Lintang dan Mahar sudah berakhir dengan ditutupnya lembar terakhir Laskar Pelangi.Lintang menjadi seorang supir sedangkan Mahar sedikit lebih beruntung, menjadi seorang budayawan lokal. Hasrat keingintahuan saya sebenarnya tidak terpuaskan. Tapi apalah daya, informasi yang diberikan penulis hanya sekadar itu, ala kadarnya.

Karya pertama dan kedua Andrea bagi saya bukan sepenuhnya Dwilogi. Alasannya simpel saja. Ikal yang ada pada karya pertama bukanlah Ikal yang ada pada tokoh kedua. Ikal dalam karya pertama hanya seorang tokoh yang keberadaannya tidak terlalu penting. Ada tiadanya Ikal takkan mengganggu isi cerita. Mungkin alasan tersebut bisa dipatahkan dengan argumen seperti ini. “Jika tidak ada ikal, tidak akan ada sang juru cerita yang akan mengantarkan sejarah laskar pelangi dalam sebuah memoar.” Benar. Hanya saja sang juru cerita bisa diganti orang lain.

Namun masalah yang kemudian muncul adalah karena ini memoar, sebuah kisah nyata. Jadi, Ikal tetap saja Ikal yang keberadaannya tidak bisa digantikan orang lain. Mungkin diantara kesebelas orang itu yang punya inisiatif atau obsesi menulis hanyalah seorang Ikal (Andrea Hirata Seman).

Alasan lain. Ikal dalam novel pertama tidak digambarkan berkarakteristik kuat sebagai tokoh yang menjual. Sebenarnya siapa tokoh yang ingin dimemoarkan? Tentu Ikal. Kenapa orang yang seharusnya menjadi tokoh utama seolah-olah tidak tampak. Ia tidak meresap di hati pembaca. Dalam novel itu, Ikal hanya seorang bocah yang memunyai sepuluh orang teman yang aneh-aneh. Ia seorang tokoh yang kurang mendapat simpati pembaca. Bukankah tokoh utama biasanya merebut hati pembaca?

Kemudian wajar jika pembaca Laskar Pelangi lebih mempertanyakan kondisi Lintang saat ini, atau Mahar barangkali daripada Ikal. Bukan karena keberadaan Ikal yang memang sudah diketahui. Tapi karena Lintang dan Mahar digambarkan lebih hidup daripada yang lain.

Selanjutnya, dalam sang Pemimpi, tiba-tiba Ikal ada secara penuh. Hanya dia satu-satunya tokoh dalam laskar pelangi yang diADAkan kembali. “Siapa Ikal yang berani-beraninya muncul di karya Andrea yang kedua?”. Dialah tokoh utama itu. Tanpa Ikal, sang Andrea sendiri, takkan ada Laskar Pelangi, sang Pemimpi, kemudian Edensor, dan Maryamah Karpov.

Dalam karya keduanya, Andrea memunculkan karakteristik tokoh Ikal yang harus dilihat. Ikal orang yang pandai, pekerja keras, dan sedikit nakal karena keremajaannya. Ia bukan lagi orang yang ikut ke sana ke mari tidak jelas seperti yang ada dalam Laskar Pelangi. Ialah tokoh sebenarnya tokoh.

Karya kedua Andrea memang berbeda. Awalnya saya menganggap bahwa Andrea dan Laskar Pelanginya tak lebih hanya mendapat durian runtuh. Jika tidak punya Lintang, Mahar, dan sekolah mengenaskan yang bersanding dengan lingkungan elit PN Timah, ia tidak bakal seberuntung sekarang. Ia punya modal awal cerita yang menarik. Di samping itu, ia juga tiba-tiba muncul saat masyarakat mulai bosan dengan keberadaan chikleet tenleet.

Saya menyukai Laskar Pelangi karena substansi ceritanya yang menyentuh sisi kemanusiaan. Sebuah kehidupan yang serasa tidak nyata. Saya tidak melihat ada kelebihan lain dalam novel tersebut kecuali ceritanya itu sendiri.

Namun setelah membaca sang pemimpi, saya mulai berpikir ulang. Saya sadar ada kepiawaian di sana. Jika tidak ditulis oleh jari yang lentur, pikiran seorang yang imajinatif; cerita Ikal, Arai dan Jimbron, hanya akan berakhir pada keranjang sampah. Namun, Andrea membuktikan itu. Cerita yang biasa bakal jadi luar biasa bila diramu dengan baik. Mungkin begitu juga dalam laskar pelangi.

Andrea dan budayanya

Ada pujian yang berlebihan pada Andrea. Ia bukan dari lingkungan sastra namun dapat membuat novel best seller. Tak hanya karya pertamanya, namun juga karya yang kedua.

Berbicara mengenai best seller, banyak novelis muda Indonesia yang bukan dari lingkungan sastra tapi karyanya terjual laris manis. Sebaliknya, tidak mudah menemukan karya yang dibuat oleh kalangan sastra yang dapat diterima masyarakat luas.

Best seller tidaknya karya tidak hanya ditentukan hanya dari novelnya itu sendiri. Banyak kalangan yang berjasa. Di sini bisnis pun bermain. Dengan sedikit taktik karya bisa menjadi fenomenal. Misalnya saja dengan promosi besar-besar di media, launching dengan mengundang artis, atau bisa juga mencari komentator untuk ombustment.

Sedangkan dalam novel Andrea, saya lihat murni dari karya. Kelihaian bercerita menjadi kunci kesuksesannya. Kelihaian itu tak serta merta turun dari langit. Lingkungan dan budayanya sangat berpengaruh.

Ia orang Belitong, berdarah Melayu. Coba tengok ke belakang. Masyarakat tentu tidak awam dengan sastrawan Melayu seperti HAMKA, Marah Roesli, Muchtar Loebis, Iwan Simatupang dll. Jadi wajar jika Andrea pun seperti itu. Orang melayu terkenal pintar bercerita.

“Pendidikan di Sumatra itu sangat berbeda dengan di Jawa. Guru di sana seperti seorang teman. Dia hanya bertugas memfasilitasi. Orang Sumatra yang sukses itu bisa sangat sukses Karena cara mendidiknya tadi. Contohnya saja Andrea,” kata Aulia Muhammad dalam diskusi “Membaca Geliat penyair muda” di Fakultas Sastra Undip. Ia seorang pemred suaramerdeka.com yang juga bergelut dalam dunia sastra. Sebagai seorang yang lahir di Sumatra, tentu ia tahu bagaimana sistem pendidikan di sana.

Dalam Laskar pelangi maupun sang Pemimpi sebenarnya juga bisa terlihat jelas bagaimana pendidikan di sana. Tak jauh beda dengan yang dikatakan Aulia. Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea menjelaskan bagaimana cintanya ia dengan sastra. Itu tak lain karena gurunya. Sang guru mengajarkan sastra sekaligus menghipnotisnya untuk mencintai bidang itu. Ia membuat pelajaran itu penuh dengan kepesonaan. Tak hanya teori yang diajarkan tapi ia membebaskan sang murid pada imajinasi-imajinasinya sendiri. Jadi, benarkah Andrea Hirata Seman benar-benar awam dalam dunia sastra?

Read More......

Wednesday, June 27, 2007

Memungut Waktu yang Hilang


Hati ini empuk, jiwa itu halus

Dan jurang itu dalam


Perlu ada pemahaman tentang ini dan itu

Biar semua kentara dalam mata yang kasat

Tak berakhir pula dengan entah!


Jangan, tak perlu curiga

Karena waktu akan hilang

Ya...sia-sia.

Read More......

Salam


Selamat pagi...

Pagi kataku.


Selamat siang...

Siang kataku pula.


Selamat malam...

Malam.


Adakah kata yang lebih cantik?

Lirihku hanya dalam hati


Suatu saat nanti kau pasti mendendangkannya dengan

Senyum simpul malu-malumu,

Harapku.

Read More......

Tuts


Dalam ruang tiga kali empat meter

Kau bernyanyi begitu merdu, bertalu-talu

Membangunkan tidurku yang tak terlalu nyenyak

Malam itu


Saat pagi menjelang kemudian kembali pulang

Saat panas terik hingga burung hantu memekik

Suara itu tetap nyaring

Kepalaku pusing!


Sori, sudah beberapa hari

Telah banyak pula kata yang terbuang


Istana ini penuh


Pliis, jauhi tuts itu

Untuk sehari ini saja, sayang...

Read More......

Mencari Angin

Malam-malam selalu indah untuk mengatakan,

“Ya, kita mencari angin”

angin sepoi-sepoi penghilang lara

Lampu-lampu menyilaukan

namun mencerahkan hati dirundung risau

Tak usah kau bertanya padanya

karena jawabnya pastilah sama,

Silakan menunggu di pojok sana

ku kan haturkan sebuah doa pada Sang Maha Kaya

hanya untuk engkau

Tidak yang lain

Read More......

Thursday, June 14, 2007

Museum Kretek

Menemukan ‘rokok’ di kota-kota di Indonesia, bisa dipastikan segampang membalikkan telapak tangan. Tapi menemukan benda-benda antik seputar pembuatan rokok?Anda harus ke museum Kretek Kudus.

Bagi jantung manusia, rokok bisa menjadi petaka. Tapi bagi jantung pemda Kudus, rokok adalah berkah. Tiap tahun industri rokok di kota ini menghasilkan pendapatan rata-rata satu triliun, dan memberi makan lebih dari sembilan puluh ribu karyawan pabrik-pabrik rokok di Kudus.

Karena alasan itulah, kota Kudus mendapat julukan “Kota Kretek”. Untuk lebih menegaskan platform itu, pada tahun 1985, pemerintah kabupaten Kudus mendirikan museum khusus bernama “Museum Kretek Kudus”.

Museum yang didirikan untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan industri rokok ini terletak di jalan Getas Pejaten 155 Jati, Kudus. Untuk menuju ke sana, kita cukup sekali naik angkot dari terminal Kudus. Itupun semua angkot bisa menjadi pilihan. Lalu turun di pertigaan PLN jalan R Agil Kusumadya. Dari sana, kita harus berjalan sejarak 500 meter. Jika malas jalan kaki, cukup siapkan tiga ribu perak, dan abang-abang becak siap mengantar.

Museum itu berdiri di atas tanah seluas 1.500 m2. Di area yang sama, Pemkab Kudus mendirikan rumah khas Kudus, lengkap dengan ruang Gedongan, “ruang khusus” pengantin baru. Dinding-dindingnya berhias ukiran khas Kudus (paduan budaya Hindu, Budha, Cina, dan Arab).

Luas bangunan museum itu sendiri tak seberapa (lebih kurang hanya separo dari luas auditorium Undip). Meski sempit, koleksi museum rokok ini cukup lengkap. Mulai dari alat produksi rokok, bahan baku rokok, hingga rokok itu sendiri.

Umumnya, ada lima koleksi besar alat produksi rokok di museum ini; koleksi gilingan cengkeh (alat perajang cengkeh glondong), koleksi gilingan tembakau (alat pengurai tembakau), koleksi krondo (alat yang digunakan untuk memisahkan batang tembakau yang kasar dengan yang halus), dan koleksi alat perajang tembakau.

Semua ditata menjadi dua bagian; koleksi peralatan tradisional dan modern. Peralatan tradisional ditata di sisi kiri ruangan, sedangkan yang modern, tertata di sisi kanan ruangan. Tidak main-main, museum ini menyimpan alat-alat tradisional yang langka dan “berumur”. Lihat saja alat penggulung rokok yang berangka tahun 10-10-1938.

Sedangkan untuk perlatan yang tergolong modern banyak berupa asbak, gantungan kunci, korek api, payung, topi, jam, tas, gelas, cangkir, termos, t-shirt dan lain-lain. Logo-logo perusahaan rokok Kudus juga terpampang di sana. Tak hanya logonya, rokok-rokok produksi perusahaan Kudus (dari segala jaman) juga tersimpan di sana, lengkap. Semuanya terpajang di semacam etalase. Letaknya tak jauh dari etalase lain yang berisi koleksi keramik.

Selain itu, ada juga koleksi bahan baku rokok. Ada 17 jenis tembakau dan 10 jenis cengkeh dari berbagai dunia yang ikut nampang di sana. Tak hanya itu, miniatur proses produksi zaman sekarang, mesin produksi masa kini dan gedung pusat pengelola rokok-rokok asli Kudus (ditunjukkan dengan foto-foto) juga tersedia.

Yang menjadi inspirasi pendirian museum ini tak lain adalah Nitisemito. Memang, sejarah rokok Kudus tak bisa dipisahkan dari usaha Nitisemito. Tukang kopi ini pada tahun 1906 mendirikan pabrik rokok bermerk Bal Tiga. Rokok produksinya berupa campuran tembakau dan cengkeh yang dibungkus daun jagung kering yang dibesut (dihaluskan), disebut dengan Klobot. Tak disangka, usaha ini ternyata maju pesat. Setiap harinya, Bal Tiga menghasilkan dua juta batang rokok per hari. Begitu besarnya permintaan itu hingga Nitisemito mengerahkan 6000 orang tenaga buruh. Lama kelamaan, banyak warga Kudus yang meniru jejak Nitisemito.

Foto-foto yang menggambarkan sejarah perjuangan Nitisemito dalam mengembangkan usaha rokok pertama di Kudus, bisa kita saksikan di bagian kiri bangunan. Berseberangan dengan koleksi alat produksi rokok versi tradisional.

Foto-foto para “penerus perjuangan” Nitisemito juga terpampang di sana, di dinding bagian tengah museum. Mereka adalah Oei Wie Gwan (pendiri PR Djarum, tahun 1951), M.C. Wartono (pendiri PR Sukun, tahun 1948), Koo Djee (pendiri PR Nojorono, tahun 1932), dan H. A. Ma’ruf (pendiri PR Djambu Bol, tahun 1937).

Untuk bisa menikmati itu semua, Anda tak perlu pusing menyiapkan kocek. Pengunjung museum hanya dikenakan sumbangan sukarela. Besarnya tak ditentukan. Sumbangan sukarela ini lalu dikumpulkan dan ditambahi alokasi dari PPRK (Persatuan Perusahaan Rokok Kudus) untuk merawat museum.

Ironisnya, meski tak bertarif. Museum ini bisa dikatakan sepi pengunjung. Tiap bulan, jumlah pengunjung hanya berkisar 300-an orang, atau perharinya rata-rata sepuluh pengunjung. Itupun kebanyakan pelajar, yang justru bisa dikatakan bukan komunitas penikmat rokok.

Sebaliknya, para perokok di Kudus (khususnya) dan di Indonesia (umumnya) tampaknya lebih suka menghisap rokok daripada mengetahui sejarah dan pernak-pernik proses pembuatan rokok Tak terkecuali sopir angkot yang siang itu saya tumpangi.

“Males.” Ujar sopir angkot itu sambil tetap mengoperasikan angkot yang ia kendarai.***

,

Read More......

Wednesday, May 16, 2007

Jepara, Kartini, dan Perempuan Jepara

Ini tulisan pertama saya. Dan saya akan memulainya dengan kota Jepara. Saya akan bercerita sedikit tentang kota kelahiranku yang selama ini tidak kukenal. Bila dihitung dengan angka, kurang lebih lima kali saya datang ke kota itu. Bukan, bukan karena saya tinggal di kota lain, melainkan saya tinggal di ujung kota tersebut. Sebuah desa yang mungkin terpinggirkan.

Sabtu, 21 April 2oo7. Saya menyusuri Bumi Kartini. Moment yang spesial membuatku sedikit berharap akan mendapat pengalaman yang mengesankan. Sebuah pawai besar-besaran mungkin, karena teman saya pernah bilang hari Kartini selalu dirayakan dengan meriah di kota Jepara. Saya tak meragukan kata-katanya. Ia tinggal di daerah dengan jengkal yang lebih dekat ke kota kabupaten dari pada saya tentu.

Pagi, pukul 09.00 WIB. Saya memulainya dari kecamatan Welahan. Saya mulai memandang kota itu lekat-lekat. Sebuah SMA dengan dinding nama SMAN1 Welahan nampak sepi. Tak ada upacara. Apa yang ada di pikiran saya,”Ya, iyalah sudah jam sembilan”. Benar. Jangan berharap menemukan upacara di jam-jam siang seperti itu! OK?

Tidak. Beberapa menit kemudian saya menemukan sebuah SD. Saat itu upacara masih berlangsung. Beruntung. Dengan demikian saya masih bisa mengamati seberapa besar makna Kartini bagi mereka. Tentu tidak untuk diri masing-masing orang. Namun sedikit saja menjadikan beda hari Kartini dengan hari lain, bisa diselami keberadaan Kartini bagi mereka.

Upacara kali itu diwarnai dengan riasan wajah-wajah mungil nan polos. Tidak banyak yang memakai sanggul. Sebagian besar kartini-kartini kecil tersebut memakai jilbab dengan busana muslimnya. Sebagai informasi saja. Beberapa SD di Jepara untuk era sekarang memang diwajibkan memakai jilbab. Namun tetap dengan seragam sekolah yang berlengan pendek.

Perjalanan dilanjutkan. Saya menemukan lagi sekolah-sekolah. Situasinya tak jauh beda dengan SD tersebut. Begitu seterusnya.

Setelah melewati Kalinyamat, Tahunan, Ngabul, dan seterusnya, sampailah saya pada pusat kota. Di pusat kota tersebut, selain ada Pendopo Kabupaten, juga ada sebuah Museum yang khusus dibuat untuk mengenang Kartini. Museum Kartini. Ketika masuk ke dalamnya, kita akan disuguhi barang-barang peninggalan Kartini. Foto-foto dia dan keluarga, silsilah Kartini, surat-surat Kartini yang ditulis besar-besar pada pahatan kayu dan ditempel pada dinding, perabot-perabot rumah peninggalan Kartini, dan ada satu ruangan khusus untuk mengenang mendiang Sosro Kartono. Dia adalah kakak dari RA Kartini.

Pukul sepuluh lebih sedikit. Tak ada tanda-tanda akan datangnya keramaian di pusat kota tersebut. Selidik cari selidik, hari itu memang takkan ada pawai Kartini. Seseorang mengatakan pada saya, Jepara sekitar seminggu yang lalu sudah mengadakan pawai. Bukan pawai Kartini, tapi pawai untuk hari jadi kota Jepara. Sepertinya tidak mungkin untuk mengadakan perayaan yang sama untuk waktu yang berdekatan. Jadilah, hari Kartini hanya dirayakan dengan upacara di kabupaten. Seperti apa sih upacara Kartini di Jepara?

Jangan pernah membayangkan upacara Kartini laiknya upacara hari Senin pagi di sekolah. Ada podium untuk instruktur upacara di tengah lapangan, dan anggota upacara berdiri hikmat menghadap sang instruktur. Berikut upacara hari Kartini di kota kelahirannya.

Sebuah pendopo kabupaten ditata penuh kursi membentuk letter U. Kursi-kursi sebelah kiri dan tengah dipenuhi ibu-ibu dan remaja puteri. Sebelah kanan khusus untuk bapak-bapak dan remaja putera.

Pukul sembilan, perempuan-perempuan bersanggul sudah memenuhi kursi yang disediakan. Semua berpoles kecuali saya. Tampil anggun nan cantik. Mereka datang dari segala penjuru bidang. Pemerintah kabupaten memang mewajibkan setiap departemen pemerintah mengirimkan sepuluh orang pegawainya untuk merayakan hari bersejarah itu di Pendopo. Selain itu, beberapa dari sekolah-sekolah di Jepara dan instansi-instansi swasta yang mendapat undangan.

Upacara dilaksanakan layaknya sebuah acara seminar. Hanya saja dalam upacara Kartini tak ada pembicara.

Acara dimulai dengan pembukaan, lalu sambutan-sambutan. Selain itu ada pembacaan riwayat singkat dan pembacaan surat-surat Kartini.

Bagi kota Jepara, Kartini bukanlah satu-satunya pahlawan perempuan. Hendro Martojo, Bupati Jepara mengatakan bahwa Jepara mempunyai tiga tokoh perempuan yang membanggakan. Ratu Sima, Ratu Kalinyamat, dan RA Kartini.

Ratu Sima adalah tokoh yang hidup di era 5 masehi dan ia seorang pejuang keadilan. Ratu Kalinyamat hidup pada 15 M dan ia terkenal dengan kesucian pengabdian pada suami. Dan terakhir adalah Kartini, seorang pejuang emansipasi perempuan.

Dengan ketiga tokoh tersebut, sudah selayaknyalah perempuan Jepara menjadi pionir kemajuan. Atau minimal tidak kalah dengan perempuan-perempuan modern saat ini. Tidak tergantung pada laki-laki namun tetap mengerti kodrat perempuan sejatinya.

Perempuan Jepara

Nama saya Siti. Bekerja sebagai penjahit celana laki-laki. Hanya itu keahlian saya. Belajar menjahit dari tetangga, langsung setelah lulus SD. Seingat saya, saya lulus tahun 1996. Lha mau bagaimana lagi. Bapak hanya seorang petani. Saya sudah tidak punya seorang ibu. Saat itu kakak saya ingin menyekolahkanku ke SMP. Tapi banyak tetangga yang jail. “Kamu mbok yo mikir, masmu itu kan meh (akan) nikah. Kamu tidak kasihan apa ke masmu. Apa duite masmu cuma buat kamu?” begitu katanya.

Masku sendiri sih sebenarnya tidak keberatan menyekolahkanku. Tapi banyak perkataan tetangga yang menyudutkanku. Apa yang bisa dilakukan oleh anak kecil selain menangis. Menangis karena pupus harapanku untuk meraih cita-cita sekolah yang tinggi.

Sekarang saya hanya bisa menerima nasib. Pagi sekitar pukul delapan, saya mengayuh sepeda menuju kampung tetangga. Di sana ada banyak pengusaha konveksi. Saya bekerja di salah satunya. Hari-hari saya isi dengan menjahit. Tanpa mengenal lelah dan waktu. Tahu-tahu, sekarang saya berusia 23 tahun.

Selama hidup, sampai usia sekarang maksud saya, tak ada hal menarik yang kudapat selain hanya itu-itu saja. Sekali-sekali saya jalan-jalan ke kota Kudus. Rumah saya lebih dekat dengan kota Kudus. Saya tak kenal Jepara. Saya tidak berani jalan-jalan. Mungkin aneh, tapi itulah saya.

Pernah, sekali menyusuri kota Kudus, berusaha mengenal kota Kudus, itu saya lakukan baru satu bulan kemarin. Ya, biar tidak terlalu kuper kata orang. Saat itu saya tidak pergi sendiri tapi dengan salah satu teman perempuan.

Dengan kehidupan seperti ini, saya tetap bahagia. Jika dulu saya berontak dan saya acuhkan perempuan-perempuan usil tetangga saya itu, mungkin kehidupanku tidak seperti ini. Waktu memang tidak bisa diputar. Toh ini memang garis hidup saya.

Read More......