Saturday, January 15, 2011

Anjing tunawisma

lusa si anjing kecil datang tanpa permisi

lalu-lalang di halaman, sesekali mengendus-endus jemuran setengah kering

tahu tak ada bau amis tulang atau sisa-sisa ikan, kemudian ia pergi setelah diusir si empunya rumah dengan suara huss...husss sambil mengetok-etokkan gagang sapu di lantai depan pintu....



beruntung ia tak memberi kenang-kenangan lendir yang menjijikkan...

sedikit was-was tapi masih menyimpan rasa agak tenang...

huuuuhh....syukurlah....



sehari berselang, ia tak tampak. jemuran sudah aman bila tak ditunggui.

lalu aku pun pergi ke tempat di mana pohon-pohon, danau, dan kera-kera saling hidup berdampingan. orang-orang menyebutnya bedugul. jalan-jalan ke tempat wisata, rasanya kurang menyenangkan bila tak ada kawan. tentu saja aku tak mau sendiri. suami dan seorang teman, ikut bersama.



rumah sepi. gembok menggantung di pagar. pertanda penghuni tak berada di rumah. mohon tamu yang akan datang, silakan kembali lagi malam nanti atau esok hari. semua pasti mengerti tanpa ada perkataan secara eksplisit mengenai hal itu. tentu saja terkecuali si anjing kecil itu lagi. kembali ia berulah untuk mengajak perang.



tanpa pernah diundang, ia tidur santai di atas keset di depan pintu seolah-olah ingin menyambutku yang baru datang dari bepergian. "hallo, welcome selamat datang," mungkin pikirnya begitu. "Aduh anjing, siapa sih elo. gue yang punya rumah," dahiku berkerut agak jengkel menanggapi ulahnya. "dari mana kau masuk. pergilah ke rumah pemilikmu. jangan kau datang-datang lagi ke mari. pusing aku jadinya". anjing itu tak menjawab. ia berjalan menuju pintu pagar dengan menekuk lehernya ke bawah. ia lalu berjalan menyelusuri jalan setapak dengan selalu melihat tanah. ke manakah ia? bagaimana nasib si anjing malang selanjutnya???????

Read More......

Friday, August 6, 2010

RANSEL

Akhirnya semua pekerjaan selesai sudah. Ini persiapan pulang dan harus ke terminal Tasik terlebih dahulu. Kalau menunggu di jalan depan, tidak ada kepastian bus akan lewat pukul berapa. Spekulasi. Setelah berpamitan dengan keluarga Sekdes, pemilik rumah yang saya tumpangi bersama teman saya selama 3 hari di Margaluyu, Ciamis, saya pamit ke Mba Siti. Ia teman seperjuangan saya. Kami pisah pulang. Ia akan langsung menuju Yogyakarta setelah mampir ke rumah saudaranya sehari, sedangkan saya ingin sekali pulang ke Kudus. Hasrat untuk pulang sudah tak tertahankan lagi. Rencananya 2 hari di rumah sebelum menyerahkan data ke kantor Yogya. Pekerjaan pengeditan akan saya selesaikan di rumah.

Setelah duduk di mobil angkot menuju terminal Tasikmalaya, saya lambaikan tangan ke Mb Siti. Ia tersenyum. Angkot menuju rumah saudaranya belum ada yang lewat. Tampaknya ia harus sedikit lebih sabar menunggu, berdiri dengan dua bawaan beratnya. Ransel yang gendut penuh pakaian yang menempel di punggungnya, dan satu lagi tas warna coklat yang mungkin berisi data-data, ia jinjing di tangan kanannya.
Angkot yang saya tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Sekitar satu jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Terminal Tasikmalaya. Oya, mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa saya lebih memilih terminal Tasikmalaya daripada terminal Ciamis. Padahal, jelas saja saya berada di kawasan Ciamis. Penjelasannya adalah letak desa yang saya tinggali sementara ini adalah kawasan perbatasan Ciamis-Tasikmalaya. Daerahnya lebih dekat ke kota Tasik dari pada ke kota Ciamis-nya. So, saya lebih memilih ke terminal Tasik daripada jauh-jauh ke terminal Ciamis tentunya.

Mencari tiket bus yang langsung menuju arah Semarang, ternyata tak semudah menemukan pedagang rokok di terminal-terminal. “Bis menuju Semarang adanya pagi jam tujuh dan sore jam lima saja, Teh. Gimana, jadi ambil tiket?” kata seorang perempuan di balik meja loket. Tentu saja saya tak ambil penawaran itu. Enam jam yang saya perlukan untuk duduk dan menunggu bus yang berangkatnya baru pukul lima sore nanti. Terlalu lama, pikirku. Sialnya, sepertinya hanya satu bus yang menyediakan jasa langsung antar Tasik-Semarang.

“Ada satu bis arah Jogja. Nanti turun di Purwokerto . Cari bis Semarang di sana,” lelaki berambut putih dengan sedikit-sedikit hitam yang menyelimuti kepalanya itu mengajakku ke arah bus Yogya. Saya mengikutinya. Ini satu-satunya pilihanku, tak akan ku sia-siakan. Tekadku sudah bulat. Harus pulang sekarang dan melaju langsung ke kota Kudus. Kasurku sudah merindukanku.Yang kebayang selalu kasur dan bisa mengistirahatkan badan sebentar dengan nyaman. Tanpa merasa sungkan lagi dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang selalu memberiku tumpangan selama perantauan sementara ini. Huh…batinku selalu tersiksa bila membuat orang lain repot karena diriku…
“Iya Pak, terimakasih,” ucapku pada lelaki yang mengantarku sampai di bus Yogya terakhir. Ia kemudian berlalu ke arah tempatnya semula.

Pukul setengah satu, bus mulai berjalan. Jalur selatan tak seperti Pantura yang begitu ramai. Di sini, tantangan supir yang utama adalah berani melalui jalan yang berkelok-kelok penuh tikungan. Sedikit mengerikan. Namun rasakan saja ini sebagai olahraga jantung yang menyehatkan laiknya ketika kita naik roller coster. Tak separah itu sih. Naik bus melalui jalur selatan tak semenakutkan naik roller coster. Dan satu lagi yang membuatku merasa beruntung pernah melalui jalur ini. Panoramanya yang hijau menawan tak ingin membuat mata ini ingin terpejam.

***

Telpon tiba-tiba berdering.
Ina: ya, hallo…
Mba Dewi: ada listing 10 hari. Besok pelatihannya. Bisa ikut?
Ina: ya Mba, saya ikut. Tapi posisi saya sekarang di Kudus
Mba Dewi: besok acara jam delapan pagi. Kalau ikut, kamu harus berangkat sekarang dari Kudus
Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan perkataan Mba Dewi.
Pukul tiga sore. Sudah tak ada waktu lagi untuk berdiam diri. Sekarang harus segera mempersiapkan pakaian untuk acara 10 hari di luar kota. Baju-baju kusut yang belum sempat disetrika, selimut tipis, rukuh parasut, sepatu ket, jaket rajutan, buku-buku, dan lain-lain, dan lain-lain saya masukkan saja ke dalam dua tas ransel yang ada. Meski tak rapi, tak apalah. Meski harus gotong-gotong depan-belakang, juga tak apalah. Yang penting semua kebutuhan tak ada yang tertinggal. Setelah persiapan selesai, saya cek lagi dengan mengingat-ngingat saja apa yang tadi sudah saya masukkan ke dalam tas. Setelah dirasa cukup, langsung saja tancap gas ke Terminal Kudus dengan dianter adik laki-laki saya yang sudah siap jadi pembalap dadakan.
Langit sudah mulai memerah. Jam di hape sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih lima menit. Ke Yogya butuh waktu sekitar lima atau enam jam dari Kudus. Jadi sekitar pukul sebelas saya sampai di kota gudeg. Dengan kondisi Yogya yang sepi transportasi pada malam hari, saya putuskan lebih baik saya menginap di Semarang dulu malam ini. Subuh nanti saya lanjutkan perjalanan ke Yogya. Begitu lebih aman, pikirku.
Jelas saja acara sudah dimulai saat kusampai di restoran yang ditentukan untuk pelatihan kilat proyek listing 10 hari ke depan. Pukul Sembilan baru sampai. Padahal acara sudah dimulai dari pukul delapan tadi. Tak apa. Bisa dimaklumi. Yang tak bisa ditolerir ini nih. Perut keroncongan tak karuan. Belajar proyek baru yang terpikir kapan waktunya makan siang. Kacau. Belum lagi penjelasan dari si Bos meloncat-loncat seperti kodok, membuat ketidakkaruan ini menjadi sempurna.

***
Kelapa. Begitu banyak pohon kelapa di sini. “Ini daerah mana ya Mba?” saya mencoba untuk bertanya pada perempuan berkulit putih yang duduk di samping. “Banyumas Mba,” jawab perempuan itu dengan senyum, terlihat karakternya yang ramah. Bus terus berjalan.

Prediksiku benar. Ini kota Ahmad Tohari. Karya penulis tersohor itu yang berjudul Bekisar Merah bersetting di kota yang penuh dengan pohon-pohon kelapa. Saya merasa beruntung berada di sini. Meskipun hanya lewat sepintas saja, namun perasaanku serasa bisa melihat adegan demi agedan novel Bekisar Merah. Saat Darsa naik pohon kelapa untuk menderes nira kelapa dan meraba-raba diantara rumah-rumah yang berlarian ke belakang, manakah rumah yang ditempati Lasi.

***
“Oke, dengarkan baik-baik nama kalian. Kalau perlu tulis, tepat berada di kota mana Anda-Anda dibuang..,” mimiknya menampakkan wajah serius. Namun para hadirin tertawa dengan kehebohan luar biasa.

“Stop..oke, saya baca ya…” sekarang si Bos menampakkan giginya. Suaranya tak bisa menyembunyikan keinginannnya untuk tertawa. Si Bos adalah tipe pria kocak yang mudah bergaul. Banyak yang suka padanya.

Akhirnya namaku disebut, berada pada jajaran kelompok yang terlempar ke Jawa Barat. Di Jawa Barat akan ada survey di dua kota, yaitu Bogor dan Ciamis. Ketika diminta memilih, saya minta penempatan di kota Bogor. Alasan yang saya utarakan adalah Bogor pernah saya singgahi, jadi tidak terlalu buta bila singgah lagi ke kota tersebut. Meski pada akhirnya saya akan pergi ke kedua kota itu. Ciamis butuh bantuan karena masih ada satu desa yang belum tertangani. Kami yang diminta ke sana. Alasannya simple saja, kami yang mendapat wilcah paling sedikit di Bogor dari pada teman-teman yang lain.

***
Detak jantung mulai berdegup. Hape saya buka hanya untuk melihat jam berapa sekarang. Tak ada sms sama sekali. Waduh, bahaya. Kedip-kedip merah telah terlihat, pertanda hape menginginkan untuk dicas. Namun ini tak mungkin. Di bus tak bisa mengisi batre. Saya berusaha tenang. Klakson bus berbunyi keras sekali hanya untuk memberitahu pengendara mobil pick up di depan, lampu hijau sudah menyala menggantikan lampu merah yang sudah padam.

Bus sebentar lagi memasuki terminal Purwokerto.

“Yang ke Jogja di bis aja. Yang mau turun di sini silakan turun,” kernet bus menginformasikan kepada para penumpang. Saya siap-siap berdiri untuk mengambil ransel di bagasi barang-barang yang mirip lorong di atap bus. Ransel satunya akan saya jinjing saja. Membawanya di badan depan mungkin akan lebih merepotkan jika masih di dalam bus.

“Kalau bis Semarang di mana ya?”tanyaku pada kernet.
“Sana,” jari telunjuknya di arahkan ke kanan. Saya segera turun menuju arah telunjuk jari sang kernet. Biru langit sudah mulai menua. Sampai di tempat mangkal bus Semarang, yang dicari tak ada. Seseorang memberitahu kalau bus Semarang baru saja berangkat. Bus pantura yang tersisa hanya bus arah Tegal, itu pun supir sudah berada di belakang kemudi untuk menjalankan busnya. Sebaiknya saya ikut bus Tegal. Pikirku, yang penting berada di pantura, itu sudah titik aman pertama. Jalan pantai utara Jawa tak pernah mati. Hilir mudik bus-bus transportasi, truk-truk distribusi barang-barang, maupun kendaraan-kendaraan pribadi selalu ada selama 24 jam. Cari bus arah Semarang pasti banyak.

“Paak..Paak..ikut…” saya lebih mengeraskan lagi suara dan berlari mengejar bus yang berjalan pelan-pelan sambil cari-cari penumpang. Untung kernet bus mendengar teriakanku. Kalau tidak, bisa benar-benar telantar di kota yang tak pernah saya singgahi.

Baru meletakkan tubuh di jok bus, suara adzan terdengar di telinga. Wah, jam berapa sekarang.
“Maaf Mba, jam berapa sekarang?”
“Jam enam kurang seperempat, Mba…”
“Haa… jam enam kurang seperempat? Berapa lama sampai ke Tegal?” saya sudah tak bisa lagi menyembunyikan wajah panik…
“Kurang lebih tiga jam-an…”
“Haaa….” Tiga jam berarti sampai Tegal jam sembilan.

Kuucapkan terimakasih, lalu berusaha duduk tenang menghadap kaca di sebelah kanan. Namun, Pikiranku sudah kacau tak bisa lagi dikompromikan. Dari Tegal ke Semarang tiga jam juga. Bisa-bisa sampai terminal Terboyo jam satu malam. Pikiranku masih berkecamuk untuk memikirkan bagaimana cara terbaik. Terboyo tak aman. Apalagi di jam-jam semalam itu. Satu-satunya alat komunikasi penyelamat, hapeku, sudah lebih dulu tewas. Bus terus berjalan dan saya belum menemukan cara yang terbaik untuk penyelesaian masalah.

“Mba, maaf, boleh minta satu sms? Hape saya mati..” pintaku, masih dengan orang yang sama, yang baru saja saya ajak bicara tadi.
“Silakan..” perempuan dengan kaca mata menghiasi wajahnya itu menyodorkan hapenya. Saya berusaha meminta bantuan teman untuk bisa menginap semalam saja di rumahnya. Satu-satunya teman di kota Tegal yang kartu namanya masih tersimpan di dompet. Andai saja hape tak terburu-buru mati, mungkin masih ada banyak teman lain yang bisa dimintai bantuan. Semoga saja nasibku tidak terlalu buruk. Sudah kemalaman di negeri orang, hape mati, dan harusnya dapat bantuan. Itu yang sekarang saya sangat harapkan. Sekali lagi kuucapkan terimakasih untuk seorang perempuan baik hati yang ada di samping.

“Iya sama-sama..” Ia lalu menanyakan apa yang terjadi. Wajahku yang tampak panik terlihat sangat jelas olehnya. Saya menceritakan semua. Sesekali saya menanyakan balasan sms dari teman saya. Sudah lebih setengah jam, tak kunjung ada balasan.
“Tenang. Tegal ramai. Tak akan terjadi apa-apa,” ia kemudian menceritakan dirinya yang juga pernah mengalami nasib yang sama denganku. “Orang-orang Jawa baik-baik kok, tak akan terjadi apa-apa..” perempuan itu berasal dari Medan. Tapi sudah lama tinggal di Slawi.
“Sebentar lagi aku turun. Kamu hati-hati saja ya Dek…”
“Iya, terimakasih Mba…” tak ada balasan sms. Pasrah saja pada Tuhan. Jam berapa pun sampai Tegal, akan saya jalani, cari bus langsung pulang ke rumah. Bus menuju arah Kudus mungkin memang tak begitu banyak. Sebaiknya saya ikut bus Semarang lalu turun di Terboyo. Baru dari sana ikut bus yang melewati kota Kudus. Membayangkan Terboyo, yang tampak orang-orang kekar dengan tato-tato ular di lengan, dan sebagian yang lain berjaket kulit tengah duduk-duduk di kursi-kursi batu pinggiran terminal. Asap –asap rokok dihembuskan ke udara. Tangan-tangan itu masih mengapit sebatang rokok kretek.
“Pak, nanti turun jalan Pantura ya..” pintaku pada Pak Supir.
“Mau ke mana Mba?”
“Ke Semarang Pak. Banyak kan Pak busnya?”
“Iya, tenang Mba, kalau bis arah Semarang di sini banyak…” saya diturunkan di halte Pantura kota Tegal. Di depan, saya melihat mal besar yang bertulis Pacific Mall.
Tegal malam hari. Becak-becak berada di pinggir-pinggir jalan. Warung-warung tenda juga banyak menghiasi jalan-jalan. Mempermudah mereka yang ingin menikmati suasana malam Tegal dengan tidak banyak mengeluarkan uang. Tegal kota yang tak pernah sepi sebagaimana jalan Pantura yang lain. Saya duduk di halte jalan Sudirman.
“Mau ke mana Mba?” Halte hanya ada saya dan seorang lelaki dengan ransel di depannya. Sepertinya itu ransel miliknya. Ia duduk dengan wajah menghadap ke kiri. Kalau saya taksir, usianya sekitar 50-an. Di depan kami, ada satu becak. Seseorang duduk dan menyenderkan kepalanya agak ke samping kiri. Tak berkutik.
“Ke Kudus Pak. Bapak mau ke mana?”
“Ke Madiun. Kalau bis langsung Kudus tidak banyak. Nunggunya lama. Itu.. itu..ke Semarang. Bis Semarang yang lewat banyak,” jari telunjuknya menunjuk satu bus yang menaikkan penumpang. Kemudian bus itu segera pergi mengacuhkan kami.
“Iya, rencana mau naik Semarang dulu aja baru nanti cari yang ke Kudus kalau sudah sampai di terminal Terboyo Pak,” meski masih ragu, sudah tidak ada pilihan lain lagi.
“Terboyo rawan, lebih baik menginap di sini saja. Tidak punya teman di sini?”
“Ada. Tapi hape mati, tidak bisa menghubungi,” secara spontan, lelaki itu memberikan hapenya ke saya.
“Telpon pake ini saja..” karena merasa tidak enak, saya berencana untuk minta satu sms saja. Tapi ia memaksaku untuk menelpon.
“Tidak apa-apa. Dipakai saja,” saya mengucapkan terimakasih padanya kemudian mengambil kartu nama di dompet dan memencet nomor 0283XXXX
Selesai nelpon, ia langsung menanyakan hasilnya. “Bagaimana, bisa?”
“Tidak bisa katanya, Pak. Isterinya belum pulang.”
“Walaah, alasan wae. Lha wong temannya lagi benar-benar butuh bantuan kok nggak mau bantu…” suaranya keras, emosinya terlihat. “Ya sudah, cari penginapan saja di sini,” lanjutnya. Ia kemudian memanggil tukang becak. Sontak saja, si tukang becak kaget. Matanya langsung terbuka dan badannya agak tergoncang. Ternyata ia benar-benar terlelap. Untung, becaknya hanya sedikit bergerak. Tak begitu terpengaruh goncangan badan si empunya becak. Setelah benar-benar sadar, tukang becak menghampiri kami. Lelaki itu kemudian menanyakan penginapan di dekat-dekat sini. Ia meminta tolong tukang becak untuk mengantarku ke penginapan itu dan memastikan diriku benar-benar mendapatkan penginapan. Saya berterimakasih padanya dan pamit pergi diantar bapak becak.
Perjalanan dari halte ke penginapan tak lama. Hanya sepuluh menit kalau tak salah hitung. Sampai di penginapan, atau lebih tepatnya kos-kosan, saya meminta izin untuk bisa menginap semalam saja kepada ibu kos. Tukang becak masih menunggu di luar pagar. Dua ransel yang kubawa masih berada di tempat duduk becak.
Saya tak tahu berapa lama diriku berdiri di depan pintu untuk menceritakan kejadian demi kejadian yang saya alami kepada pemilik kos. Untuk meyakinkan kepada orang yang baru dikenal mungkin agak sulit. Namun usaha itu akhirnya membuahkan hasil juga. Ibu kos ternyata bisa menerimaku tinggal di rumahnya mala mini. Meski awalnya tidak menunjukkan mimik yang ramah, bukan maksudnya untuk berpikir negatif terhadapku. Ia berusaha melakukan prinsip kehati-hatian dalam hal apapun. “Akhir-akhir ini banyak kejahatan, Dek” katanya. Saya mengerti maksudnya. Ia lalu mempersilakanku masuk. Saya mengambil dua ransel dan membayar ongkos becak.
“Besok langsung pulang ke Kudus?” bahasa Indonesianya medok ngapak. Saya menjawab pertanyaannya dengan mengangguk. Ia meninggalkan air putih dingin yang ditempatkan di botol air mineral 600 ml dan satu besek nasi diletakkan di samping air mineral. “Ada berkat dari tetangga. Di makan ya. Pasti tadi belum makan kan… Ibu tahu…” sungguh saya bertemu orang-orang baik hari ini.
Akhirnya semua baik-baik saja. Mata kupejamkan untuk kembali menengok apa yang terjadi hingga akhirnya ku tak tahu sudah sampai batas mana lamunanku. Dan malam semakin larut.

***
Bogor, pukul lima pagi. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke desa dan meminta izin kepala desa tentang penelitian yang akan kami lakukan. Saya dan Mba Siti memutuskan istirahat dulu di musholla bus Mawar Indah sampai pukul tujuh. Desa yang akan kami tuju tidak terlalu jauh dari sini.

Bojong Asli, desa paling ujung di salah satu pegunungan di daerah Bogor. Mencapai desa itu hanya bisa ditempuh dengan ojek. Pemkab Bogor memang belum memberikan jalur angkot sampai ke desa tersebut.

Sampai di balai desa Bojong Asli, kami tak langsung ketemu kepala desa. Baru ada satu orang pegawai yang melayani seorang remaja putra untuk pembuatan surat-surat. Tak jelas itu surat untuk apa. Mungkin pembuatan KTP, atau bisa jadi surat keterangan untuk pembuatan lamaran kerja

Sambil menunggu Pak Kades yang belum datang, Saya dan Mba Siti keluar ruangan untuk menikmati kesejukan hawa desa. Banyak sawah padi di sini meski hamparan padinya tak bisa menghijau segar. Daun padinya agak kaku dan warnanya hijau tua semi coklat. Pohon-pohon kelapa juga menghiasi tanah-tanah Bojong Asli.
“Selamat pagi…” sapa lelaki dengan kemeja coklat lengan pendek dan celana warna senada. Usianya saya perkirakan sekitar 30 tahun. Kami tak mendengar langkah kaki seorangpun, tapi tiba-tiba kepala desa berada di belakang saya dan Mba Siti. Terang saja kami terkejut. Senyum takut-takut tergambar di wajah kami berdua.
“Mari kita masuk,” ajaknya kemudian. Mba Siti mengikutinya. Saya di belakang Mba Siti. Setelah duduk sebentar, seorang perempuan berjilbab membawakan 3 cangkir teh untuk kami. Tehnya tidak manis. Orang Sunda lebih menyukai teh rasa tawar daripada teh manis seperti yang disukai kami orang Jawa. Mba Siti tanpa basi-basi lalu mengutarakan maksud kedatangan kami.

“Iya Pak, Saya Siti dan ini Ina,” tanganya diarahkan kepadaku. Saya tersenyum sambil menundukkan kepala sedikit. Mata saya arahkan ke kepala desa untuk menghargai beliau.

“Kami dari lembaga penelitian di Yogyakarta. Nama lembaga kami Indonesia Survey Institut atau biasa kami sebut ISI. Tujuan kami ke sini untuk melakukan penelitian tentang kualitas air di desa ini dan dihubungkan dengan kesehatan masyarakat. Karena itu, nanti kita butuh wawancara warga sekitar 100 orang sebagai sempel. Untuk itu, kami minta izin terlebih dahulu kepada Bapak karena di sini Bapak penguasa kawasan,” spontan tawa terdengar dari Pak Kades. Sebelum kepala desa membuka mulutnya untuk menanggapi candaan Mba Siti, yang punya gurauan segera melanjutkan berbicara sambil meralat kata-kata yang baru saja terlontar.
“Maaf Pak becanda,” Mba Siti dan saya tertawa. “Maksud saya, Bapak pemimpin di sini,” lanjut Mba Siti. Suasana menjadi cair.
“Terimakasih sebelumnya karena kami mendapat kehormatan atas kedatangan ibu-ibu untuk melakukan penelitian ini. Bagi kami, apapun kegiatan yang sifatnya positif untuk kebaikan bersama, kami akan terima dengan baik. Saya sebagai pelayan masyarakat, bukan penguasa ya….” Geerrr. Tawa kembali menyelimuti pembicaraan sebelum akhirnya pernyataan kepala desa kembali dilanjutkan.
“…saya sebagai pelayan masyarakat, perwakilan masyarakat, membuka kedua tangan kami untuk kalian. Silakan saja jika memang itu baik. Mungkin apa yang perlu saya bantu?”
“Ya Pak. Kami sangat berterimakasih atas kerjasama Bapak Kepala desa. Oya, nanti dari lembaga kami juga menyelenggarakan diskusi untuk membahas hasil dari penelitian. InsyaAllah nanti kami akan mengundang Bapak untuk membahas lebih lanjut tentang permasalahan yang ada di desa ini untuk mencari solusi yang terbaik tentunya,” Bapak kepala desa menggut-manggut. “Untuk pelaksanaan penelitian sebenarnya tidak sekarang Bapak. Hari ini kami hanya bertugas untuk meminta izin terlebih dahulu kepada Bapak sekaligus survei tempat. Selain itu juga kami akan mendata warga yang bulan depan bersedia diwawancarai. Penelitian ini akan dilaksanakan bulan depan begitu Bapak. Dalam waktu tiga hari ini, kami akan turun langsung ke warga untuk mencatat data warga dan meminta izin langsung untuk wawancara bulan depan,” lanjut Mba Siti.
“Iya, silakan. Dalam tiga hari ini berarti belum ada tempat tinggal ya? Nanti tinggal di rumah ibu saya saja jika bersedia. Ibu saya tinggal sendiri di rumah,” Kepala desa pergi ke ruang samping untuk berbicara kepada sekretaris desa. Sekretaris desa kemudian pergi keluar dan mengendarai motor bebek satu-satunya yang ada di luar dekat jendela.
“Terimakasih, Pak,” ucap kami serentak.

***
Hari ketiga di Bojong Asli, kami mengejar deadline sebelum berangkat ke wilcah lain. Medan yang naik turun gunung, telusur persawahan karena jarak antar RT yang tidak berdekatan, membuat nafas tak stabil. Harus berhenti sejenak untuk menstabilkan kembali.

“Kenapa, capek ya?”
“Sebentar Bu RT. Bernafas sebentar,” bu RT tertawa.
“Sini-sini duduk di sini sebentar…” Bu RT menunjuk anak tangga tanah yang di atasnya terdapat batu-batu kecil sebagai penghubung tempat yang agak menanjak.
Keluarga yang saya kunjungi berikutnya adalah keluarga Pak Ajat. Rumahnya berdinding bambu dengan penyangga kayu di bawahnya laiknya rumah gadang. Lantainya tak menyentuh tanah. Sore itu, yang menemuiku Bu Rahmi, isteri Pak Ajat. Delapan anaknya di ruang tengah. Ada anak yang sedang makan, bermain, bahkan bertengkar. Satu anaknya lagi berada di luar rumah, tak tahu ke mana. Si bungsu anak Bu Rahmi berusia dua tahun dan paling besar berusia tujuh belas tahun. Anaknya masih kecil-kecil. Bertamu ke sini harus lebih sabar.

“Ya..” Jawabnya saat saya meminta bantuannya untuk ngobrol-ngobrol seputar air bulan depan. Singkat. Tak banyak bicara. Tatapannya kosong. Entah ia paham apa yang saya bicarakan atau tidak. Yang pasti, Bu Rahmi sudah menyetujui tentang obrolan itu. Saya dan Bu RT kemudian pamit.
Bu Rahmi adalah responden terakhir di Bojong Asli yang saya catat identitasnya di form R, atau form responden. Keesokan paginya, perjalanan dilanjutkan ke Gadog lalu Ciamis dengan tugas serupa. Tiap wilcah selalu mendapat waktu tiga hari untuk menyelesaikan semua tugas. Selalu kejar deadline, dan pekerjaan selesai.

***
Di kamar yang disediakan sekdes Margaluyu untuk kami. Baju-baju kotor saya masukkan ke ransel. Ransel lebih membumbung dari pada saat berangkatnya. Ada tambahan baju-baju baru yang saya beli karena kehabisan pakaian saat bertugas. Waktu untuk mencuci sangat sempit. Tak sempat mencuci setiap saat. Sedangkan data-data, saya masukkan di ransel satunya lagi. Mba Siti melakukan hal yang sama. Kami bersiap-siap untuk pulang. Margaluyu, wilcah terakhir saya dan Mba Siti.
Pengalaman yang menakjubkan. Selama sepuluh hari, setiap pagi hingga malam, harus bertemu sekitar dua puluhan warga untuk mengobrol seputar izin penelitian bulan depan. Kaki terasa ngilu, mulut terasa capek, tapi perut terasa kembung. Hampir setiap rumah disediakan air yang harus kami teguk. Bayangkan kalau kita minum dua puluhan gelas setiap hari.

“Bapak, kami mengucapkan terimakasih atas bantuannya selama ini. Karena pekerjaan sudah selesai, kami pamit untuk pulang,” Ucap Mba Siti. Sekdes mengucapkan terimakasih juga atas kedatangan kami. Ia mengantar sampai depan pintu, lalu kami menunggu angkot untuk tujuan masing-masing. Saya ke terminal Tasik, Mba Siti ke rumah saudaranya.

***
Telpon berdering.
“Hallo…”
“Posisi sekarang di mana?”
“Di Tegal, Pak?”
“Ngapain kamu ke Tegal? Harus ke Jogja sekarang. Hari ini data harus clear…” suara Bos memecahkan keheningan pagi. Masih pukul enam. “Saya tunggu sore ini kamu di kantor!” telpon mati.
Sial. Harus kembali gotong-gotong ransel depan belakang, dan kembali ke jalur selatan yang dilalui tadi malam untuk pulang ke Yogya. Bye..bye Kudus.

Read More......

Sunday, October 11, 2009

Hanya pada-Mu kudapatkan Cinta Kekal

Aku berdosa terhadap-Mu…
Dalam khilafku ku besimpuh dan menghaturkan maaf…
Padamu bisa kusentuh cahaya Cinta yg abadi…

Mohon…
Jangan tinggalkanku dlm gelap…

Tuhanku, hanya Engkau ya Allah…
Berikan hambamu petunjuk dlm hidup..

Pada-Mu kuserahkan jiwa…

Read More......

Friday, August 14, 2009

Mereka manusia hebat itu...

Dalam sebuah perjalanan dari Stasiun Senen ke Kebayoran Lama, tempat tinggal saya sementara di Jakarta, saya berbincang dengan seorang pria berumur sekitar 50 tahun.
“Dari mana?,” tanyanya pada saya.
“Dari stasiun Senen, nganter temen-temen balik ke Semarang, Pak. Teman-teman main ke Jakarta. Ada acara,” kataku.

Sepanjang perjalanan, sang Bapak mengajak ngobrol banyak hal. Dari hal macam kenapa perempuan-perempuan itu (sambil menunjukkan jarinya ke perempuan-perempuan di luar bus yang bergerombol) tak memakai jilbab, hingga isu terhangat mengenai Nordin M Top. Saya menanggapi sekenanya, sebatas pengetahuan yang saya punyai. Namun, yang agak membuatku tertarik adalah mengenai selorohnya tentang seorang pemuda yang membawa gitar sambil menyanyikan sebuah lagu. Pemuda itu berdiri di sela-sela kursi bus, tempat biasa penumpang hilir mudik naik turun bus.
“Kok bisa ya dia hidup dengan kerjaan seperti itu?,” katanya.
“Realitanya mereka bisa,” kataku.
“Orang-orang yang berani hidup di Indonesia apalagi di Jakarta, menurutku adalah orang-orang hebat,” tambah saya padanya.

Hidup adalah perjuangan, terlebih hidup di Indonesia. Mengapa? Apa pun memakai duit.
Pernah, seorang kawan berseloroh, “buang air pun di sini pake duit.” Dan itu benar. Ketika membutuhkan kerja untuk berharap penghasilan, kita pun harus menyiapkan segepok uang terlebih dahulu. Seorang kawan dari Jakarta pernah mengatakan bahwa temannya mengeluarkan uang Rp 80 juta agar bisa menjadi pegawai kejaksaan. Yang tidak punya dana, bisa bekerja sebagai pengamen seperti pengamen di bus yang saya naiki. Atau bisa jadi buruh pabrik, dan kerjaan lain di luar sistem yang tak harus mematok harga untuk sebuah pekerjaan.

Kembali bicara mengenai seorang pengamen yang disangsikan bisa mencukupi kehidupannya hanya dengan bekerja sebagai pengamen. Dalam hal ini, yang dipertanyakan seorang bapak dalam bus tadi adalah penghasilan. Benarkah penghasilannya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya? Wallahu A’lam. Hanya Tuhan, dia, & keluarganya yang mungkin mengetahuinya.

Mengenai pendapatan, saya punya cerita. Ini realita. Orang-orang sekitar Kudus, banyak yang bekerja di pabrik rokok. Teman saya, sebut saja Nik, ia buruh pabrik rokok besar di Kudus. Penghasilan yang didapat setiap harinya Rp6000,-. Ia berangkat bekerja mulai subuh, sekitar pukul lima pagi, hingga pukul dua siang. Bisakah ia hidup dengan penghasilan hanya sebesar itu. Yang lain, buruh payet baju (memasang pernak-pernik untuk menghias baju), mendapat upang perbajunya Rp500,-. Ini lebih miris lagi. Bagaimana mereka menghidupi keluarganya? Mereka yang mengerti caranya.

Orang-orang Indonesia, khususnya Jawa, terkenal dengan filosofi “nrimonya”. Bukan tipe manusia yang suka berontak dengan keadaan. Mereka akan berusaha menjalani hidup apa adanya dan selalu bersikap positif akan segala hal. Mungkin ini juga yang membuat orang asing tidak percaya bahwa masyarakat Indonesia masih bisa hidup dan bertahan dalam kondisi krisis yang berkepanjangan. Orang-orang Indonesia sudah terbiasa dengan penderitaan. Orang-orang Indonesia sudah lebih dahulu belajar bijak dalam penderitaan. MEREKALAH ORANG-ORANG HEBAT ITU…

Read More......

Sunday, March 1, 2009

Foto SBY Selalu Keluar Sejajar Dengan Mahatma Gandhi

Bicara Polpularitas SBY di Mata Amerika dan Pertahanan Nasional

(TULISAN INI MURNI DARI HARIAN RAKYAT MERDEKA JAKARTA, 2 MARET 2009. SAYA MEMASUKKAN KE BLOG SAYA, KARENA SAYA TERTARIK. BAGI YG TERTARIK JUGA, SILAKAN BACA & BERI KOMENTAR. TERIMAKASIH.)

Connie Rahakundini Bakrie menilai, SBY masih disukai negara Adidaya Amerika Serikat. Bahkan, dirinya memprediksi kongres Amerika berharap agar Ketua Pembina Demokrat itu bisa kembali terpilih pada pilpres 2009 nanti.

Penilaian dosen politik UI yang sering menghadiri undangan dari Kongres Amerika ini terlontar saat ditanya wartawan uasi menggelar acara peluncuran buku keduanya yang bertajuk 'Defending Indonesia' di Graha Niaga Jakarta, Jumat (28/09) lalu.

Menurut pengamat militer perempuan itu SBY disukai Amerika karena dianggap sangat mendorong proses demokrasi dan bisa menciptakan keamanan pada pelaksanaan pilpres yang pertama kali digelar di Indonesia pada 2004 lalu.

Adakah langkah-langkah khusus dari Amerika agar harapannya terwujud? strategi apa yang bakal diterapkan negeri Om Sam tersebut? Bagaimana posisi pertahanan kita di mata internasional? Berikut penjelasan Connie Rahakundini Bakrie kepada wartawan usai konfrensi pers peluncuran bukunya di Graha Niaga, Jakarta.

Anda sering mendapat undangan pertemuan oleh kongres Amerika. Bagaimana referensi mereka tentang Presiden SBY?

Menurut saya pribadi, tampaknya Amerika sangat mendorong SBY untuk bisa maju lagi dan terpilih dalam pilpres 2009 nanti.

Faktor apa saja yang membuat SBY disukai Amerika?

Beliau (SBY) dianggap sangat mendorong proses demokrasi. Kemudian pemilu 2004 bisa sukses dan terhindar dari kerusuhan.

Meskipun menurut saya, pemilu itu bisa lancar dan berhasil karena berkat KPU-nya. KPU periode 2004 itu adalah KPU yang paling hebat.

Kenapa Anda bisa menyimpulkan demikian (SBY disukai Amerika)?

Pada saat saya sekolah, foto dia setiap hari selalu keluar sejajar dengan Mahatma Gandhi. Coba Anda bayangkan, dari sekian banyak pemimpin dunia, foto SBY selalu keluar pada saat saya belajar. Nah, di situlah saya asumsikan bahwa mungkin SBY ini disukai Amerika.

Apakah itu karena SBY mengamankan kepentingan Amerika, misalnya soal PT Freeport, Exxon Mobil dan lainnya?

Kalau soal itu, saya harus ngomong hati-hati. Tapi, intinya saya ingin membangkitkan Indonesia bahwa kita ini jangan hanya memikirkan perhatian Amerika terhadap negara kita, tapi apa yang harus kita perbuat.

Satu hal yang kita kurang adalah kita itu tidak punya nasional interest. Kita masih berpikiran bangsa kita itu kaya, SDA (sumber daya alamnya) bisa diambil kapanpun. Kita masih berpikiran kita ini dalam posisi yang aman dan damai. padahal sebenarnya tidak.

Anda berpandangan bahwa negara kita dalam bahaya...

Pasukan asing itu sudah banyak berkeliaran dan bergerak di negara kita, khususnya di wilayah sebelah Timur dan Selatan Indonesia.

Apalagi, kalau misalnya perkembangan Cina yang sudah mulai rising star, hal-hal seperti itu juga sudah mulai harus kita antisipasi. Tentu, bakal ada perubahan besar di Asia Pasifik.

Indonesia ini selalu membangun TNI tanpa ada persepsi ancaman. Kita ini dalam mengeluarkan anggaran selalu beralasan karena tidak ada ancaman makanya anggaran untuk TNI diturunkan.

Padahal ancaman kita itu ada (bisa muncul) dari negara-negara tetangga. Misalnya, Singapura, mereka itu sudah menambah armada perangnya. Australia, demikian juga dengan Malaysia.

Sementara alutsista pertahanan kita sangat jauh ketinggalan dengan mereka hanya karena alasan tidak ada dana.

Di mata Amerika, mungkinkah ada keinginan agar SBY-JK bisa berduet kembali?

Hanya SBY sendiri waktu itu.

Menurut Anda, apakah Amerika juga melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mewujudkan harapannya?

Soal itu, saya harus jawab hati-hati. Kalau saya katakan iya, bisa salah juga. Tapi kan kita bisa amati semua. Bagaimana kepentingan yang seperti dijelaskan Pak Tanto (Bantarto Bandaro Direktur Diplomasi Pertahanan, dalam acara konferensi pers peluncuran buku 'Defending Indonesia) agar Asia Pasifik ini aman. Apalagi Indonesia ini adalah negara yang besar. kalau nanti sampai terjadi apa-apa bisa bubar.

Tapi sekarang yang menarik ini adalah hubungan kita (Indonesia-Amerika) menjadi seksi, bahwa kekuatan kita itu tidak sama. Nah, sekarang bagaimana caranya supaya kekuatan kita itu bisa sama dengan negara-negara lain.

Kalau kita mau jadi partner, minimal posisi kita harus sama dengan mereka. Pemimpin kita harus berani meningkatkan diplomasi untuk bisa bekerja sama secara internasional dengan negara mana pun.

Apakah kita masih lemah dalam hal diplomasi dengan negara-negara lain?

Saya pikir ya. Kita ini selalu nonblok. Sekarang itu kita harus jelas ngebloknya ke mana.

Misalnya, industri senjata. Kalau Amerika tidak mau kasih ilmunya, ya sudah sama Cina atau India juga nggak apa-apa.

Read More......