tag:blogger.com,1999:blog-56325810226237824072024-03-05T12:33:40.447-08:00JAWAheedawiwix.blogspot.comJAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.comBlogger29125tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-51542534462169326832011-01-15T07:11:00.000-08:002011-01-15T07:25:13.428-08:00Anjing tunawismalusa si anjing kecil datang tanpa permisi<br /><br />lalu-lalang di halaman, sesekali mengendus-endus jemuran setengah kering<br /><br />tahu tak ada bau amis tulang atau sisa-sisa ikan, kemudian ia pergi setelah diusir si empunya rumah dengan suara huss...husss sambil mengetok-etokkan gagang sapu di lantai depan pintu....<br /><br /> <br /><br />beruntung ia tak memberi kenang-kenangan lendir yang menjijikkan...<br /><br />sedikit was-was tapi masih menyimpan rasa agak tenang...<br /><br />huuuuhh....syukurlah....<span id="fullpost"><br /><br /> <br /><br />sehari berselang, ia tak tampak. jemuran sudah aman bila tak ditunggui.<br /><br />lalu aku pun pergi ke tempat di mana pohon-pohon, danau, dan kera-kera saling hidup berdampingan. orang-orang menyebutnya bedugul. jalan-jalan ke tempat wisata, rasanya kurang menyenangkan bila tak ada kawan. tentu saja aku tak mau sendiri. suami dan seorang teman, ikut bersama.<br /><br /> <br /><br />rumah sepi. gembok menggantung di pagar. pertanda penghuni tak berada di rumah. mohon tamu yang akan datang, silakan kembali lagi malam nanti atau esok hari. semua pasti mengerti tanpa ada perkataan secara eksplisit mengenai hal itu. tentu saja terkecuali si anjing kecil itu lagi. kembali ia berulah untuk mengajak perang.<br /><br /> <br /><br />tanpa pernah diundang, ia tidur santai di atas keset di depan pintu seolah-olah ingin menyambutku yang baru datang dari bepergian. "hallo, welcome selamat datang," mungkin pikirnya begitu. "Aduh anjing, siapa sih elo. gue yang punya rumah," dahiku berkerut agak jengkel menanggapi ulahnya. "dari mana kau masuk. pergilah ke rumah pemilikmu. jangan kau datang-datang lagi ke mari. pusing aku jadinya". anjing itu tak menjawab. ia berjalan menuju pintu pagar dengan menekuk lehernya ke bawah. ia lalu berjalan menyelusuri jalan setapak dengan selalu melihat tanah. ke manakah ia? bagaimana nasib si anjing malang selanjutnya???????</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-38948199830571883772010-08-06T02:38:00.000-07:002010-08-06T02:47:33.449-07:00RANSELAkhirnya semua pekerjaan selesai sudah. Ini persiapan pulang dan harus ke terminal Tasik terlebih dahulu. Kalau menunggu di jalan depan, tidak ada kepastian bus akan lewat pukul berapa. Spekulasi. Setelah berpamitan dengan keluarga Sekdes, pemilik rumah yang saya tumpangi bersama teman saya selama 3 hari di Margaluyu, Ciamis, saya pamit ke Mba Siti. Ia teman seperjuangan saya. Kami pisah pulang. Ia akan langsung menuju Yogyakarta setelah mampir ke rumah saudaranya sehari, sedangkan saya ingin sekali pulang ke Kudus. Hasrat untuk pulang sudah tak tertahankan lagi. Rencananya 2 hari di rumah sebelum menyerahkan data ke kantor Yogya. Pekerjaan pengeditan akan saya selesaikan di rumah.<br /><br />Setelah duduk di mobil angkot menuju terminal Tasikmalaya, saya lambaikan tangan ke Mb Siti. Ia tersenyum. Angkot menuju rumah saudaranya belum ada yang lewat. Tampaknya ia harus sedikit lebih sabar menunggu, berdiri dengan dua bawaan beratnya. Ransel yang gendut penuh pakaian yang menempel di punggungnya, dan satu lagi tas warna coklat yang mungkin berisi data-data, ia jinjing di tangan kanannya. <br />Angkot yang saya tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Sekitar satu jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Terminal Tasikmalaya. Oya, mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa saya lebih memilih terminal Tasikmalaya daripada terminal Ciamis. Padahal, jelas saja saya berada di kawasan Ciamis. Penjelasannya adalah letak desa yang saya tinggali sementara ini adalah kawasan perbatasan Ciamis-Tasikmalaya. Daerahnya lebih dekat ke kota Tasik dari pada ke kota Ciamis-nya. So, saya lebih memilih ke terminal Tasik daripada jauh-jauh ke terminal Ciamis tentunya.<br /> <br />Mencari tiket bus yang langsung menuju arah Semarang, ternyata tak semudah menemukan pedagang rokok di terminal-terminal. “Bis menuju Semarang adanya pagi jam tujuh dan sore jam lima saja, Teh. Gimana, jadi ambil tiket?” kata seorang perempuan di balik meja loket. Tentu saja saya tak ambil penawaran itu. Enam jam yang saya perlukan untuk duduk dan menunggu bus yang berangkatnya baru pukul lima sore nanti. Terlalu lama, pikirku. Sialnya, sepertinya hanya satu bus yang menyediakan jasa langsung antar Tasik-Semarang.<span id="fullpost"> <br /><br /> “Ada satu bis arah Jogja. Nanti turun di Purwokerto . Cari bis Semarang di sana,” lelaki berambut putih dengan sedikit-sedikit hitam yang menyelimuti kepalanya itu mengajakku ke arah bus Yogya. Saya mengikutinya. Ini satu-satunya pilihanku, tak akan ku sia-siakan. Tekadku sudah bulat. Harus pulang sekarang dan melaju langsung ke kota Kudus. Kasurku sudah merindukanku.Yang kebayang selalu kasur dan bisa mengistirahatkan badan sebentar dengan nyaman. Tanpa merasa sungkan lagi dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang selalu memberiku tumpangan selama perantauan sementara ini. Huh…batinku selalu tersiksa bila membuat orang lain repot karena diriku…<br /> “Iya Pak, terimakasih,” ucapku pada lelaki yang mengantarku sampai di bus Yogya terakhir. Ia kemudian berlalu ke arah tempatnya semula.<br /><br />Pukul setengah satu, bus mulai berjalan. Jalur selatan tak seperti Pantura yang begitu ramai. Di sini, tantangan supir yang utama adalah berani melalui jalan yang berkelok-kelok penuh tikungan. Sedikit mengerikan. Namun rasakan saja ini sebagai olahraga jantung yang menyehatkan laiknya ketika kita naik roller coster. Tak separah itu sih. Naik bus melalui jalur selatan tak semenakutkan naik roller coster. Dan satu lagi yang membuatku merasa beruntung pernah melalui jalur ini. Panoramanya yang hijau menawan tak ingin membuat mata ini ingin terpejam. <br /><br />***<br /><br />Telpon tiba-tiba berdering.<br />Ina: ya, hallo…<br />Mba Dewi: ada listing 10 hari. Besok pelatihannya. Bisa ikut?<br />Ina: ya Mba, saya ikut. Tapi posisi saya sekarang di Kudus<br />Mba Dewi: besok acara jam delapan pagi. Kalau ikut, kamu harus berangkat sekarang dari Kudus<br />Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan perkataan Mba Dewi.<br />Pukul tiga sore. Sudah tak ada waktu lagi untuk berdiam diri. Sekarang harus segera mempersiapkan pakaian untuk acara 10 hari di luar kota. Baju-baju kusut yang belum sempat disetrika, selimut tipis, rukuh parasut, sepatu ket, jaket rajutan, buku-buku, dan lain-lain, dan lain-lain saya masukkan saja ke dalam dua tas ransel yang ada. Meski tak rapi, tak apalah. Meski harus gotong-gotong depan-belakang, juga tak apalah. Yang penting semua kebutuhan tak ada yang tertinggal. Setelah persiapan selesai, saya cek lagi dengan mengingat-ngingat saja apa yang tadi sudah saya masukkan ke dalam tas. Setelah dirasa cukup, langsung saja tancap gas ke Terminal Kudus dengan dianter adik laki-laki saya yang sudah siap jadi pembalap dadakan. <br />Langit sudah mulai memerah. Jam di hape sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih lima menit. Ke Yogya butuh waktu sekitar lima atau enam jam dari Kudus. Jadi sekitar pukul sebelas saya sampai di kota gudeg. Dengan kondisi Yogya yang sepi transportasi pada malam hari, saya putuskan lebih baik saya menginap di Semarang dulu malam ini. Subuh nanti saya lanjutkan perjalanan ke Yogya. Begitu lebih aman, pikirku.<br />Jelas saja acara sudah dimulai saat kusampai di restoran yang ditentukan untuk pelatihan kilat proyek listing 10 hari ke depan. Pukul Sembilan baru sampai. Padahal acara sudah dimulai dari pukul delapan tadi. Tak apa. Bisa dimaklumi. Yang tak bisa ditolerir ini nih. Perut keroncongan tak karuan. Belajar proyek baru yang terpikir kapan waktunya makan siang. Kacau. Belum lagi penjelasan dari si Bos meloncat-loncat seperti kodok, membuat ketidakkaruan ini menjadi sempurna.<br /><br /> ***<br />Kelapa. Begitu banyak pohon kelapa di sini. “Ini daerah mana ya Mba?” saya mencoba untuk bertanya pada perempuan berkulit putih yang duduk di samping. “Banyumas Mba,” jawab perempuan itu dengan senyum, terlihat karakternya yang ramah. Bus terus berjalan. <br /><br />Prediksiku benar. Ini kota Ahmad Tohari. Karya penulis tersohor itu yang berjudul Bekisar Merah bersetting di kota yang penuh dengan pohon-pohon kelapa. Saya merasa beruntung berada di sini. Meskipun hanya lewat sepintas saja, namun perasaanku serasa bisa melihat adegan demi agedan novel Bekisar Merah. Saat Darsa naik pohon kelapa untuk menderes nira kelapa dan meraba-raba diantara rumah-rumah yang berlarian ke belakang, manakah rumah yang ditempati Lasi. <br /><br />***<br />“Oke, dengarkan baik-baik nama kalian. Kalau perlu tulis, tepat berada di kota mana Anda-Anda dibuang..,” mimiknya menampakkan wajah serius. Namun para hadirin tertawa dengan kehebohan luar biasa. <br /><br />“Stop..oke, saya baca ya…” sekarang si Bos menampakkan giginya. Suaranya tak bisa menyembunyikan keinginannnya untuk tertawa. Si Bos adalah tipe pria kocak yang mudah bergaul. Banyak yang suka padanya.<br /><br />Akhirnya namaku disebut, berada pada jajaran kelompok yang terlempar ke Jawa Barat. Di Jawa Barat akan ada survey di dua kota, yaitu Bogor dan Ciamis. Ketika diminta memilih, saya minta penempatan di kota Bogor. Alasan yang saya utarakan adalah Bogor pernah saya singgahi, jadi tidak terlalu buta bila singgah lagi ke kota tersebut. Meski pada akhirnya saya akan pergi ke kedua kota itu. Ciamis butuh bantuan karena masih ada satu desa yang belum tertangani. Kami yang diminta ke sana. Alasannya simple saja, kami yang mendapat wilcah paling sedikit di Bogor dari pada teman-teman yang lain.<br /><br />***<br />Detak jantung mulai berdegup. Hape saya buka hanya untuk melihat jam berapa sekarang. Tak ada sms sama sekali. Waduh, bahaya. Kedip-kedip merah telah terlihat, pertanda hape menginginkan untuk dicas. Namun ini tak mungkin. Di bus tak bisa mengisi batre. Saya berusaha tenang. Klakson bus berbunyi keras sekali hanya untuk memberitahu pengendara mobil pick up di depan, lampu hijau sudah menyala menggantikan lampu merah yang sudah padam. <br /><br />Bus sebentar lagi memasuki terminal Purwokerto. <br /><br />“Yang ke Jogja di bis aja. Yang mau turun di sini silakan turun,” kernet bus menginformasikan kepada para penumpang. Saya siap-siap berdiri untuk mengambil ransel di bagasi barang-barang yang mirip lorong di atap bus. Ransel satunya akan saya jinjing saja. Membawanya di badan depan mungkin akan lebih merepotkan jika masih di dalam bus. <br /><br />“Kalau bis Semarang di mana ya?”tanyaku pada kernet.<br />“Sana,” jari telunjuknya di arahkan ke kanan. Saya segera turun menuju arah telunjuk jari sang kernet. Biru langit sudah mulai menua. Sampai di tempat mangkal bus Semarang, yang dicari tak ada. Seseorang memberitahu kalau bus Semarang baru saja berangkat. Bus pantura yang tersisa hanya bus arah Tegal, itu pun supir sudah berada di belakang kemudi untuk menjalankan busnya. Sebaiknya saya ikut bus Tegal. Pikirku, yang penting berada di pantura, itu sudah titik aman pertama. Jalan pantai utara Jawa tak pernah mati. Hilir mudik bus-bus transportasi, truk-truk distribusi barang-barang, maupun kendaraan-kendaraan pribadi selalu ada selama 24 jam. Cari bus arah Semarang pasti banyak.<br /> <br />“Paak..Paak..ikut…” saya lebih mengeraskan lagi suara dan berlari mengejar bus yang berjalan pelan-pelan sambil cari-cari penumpang. Untung kernet bus mendengar teriakanku. Kalau tidak, bisa benar-benar telantar di kota yang tak pernah saya singgahi.<br /><br />Baru meletakkan tubuh di jok bus, suara adzan terdengar di telinga. Wah, jam berapa sekarang.<br />“Maaf Mba, jam berapa sekarang?”<br />“Jam enam kurang seperempat, Mba…”<br />“Haa… jam enam kurang seperempat? Berapa lama sampai ke Tegal?” saya sudah tak bisa lagi menyembunyikan wajah panik… <br />“Kurang lebih tiga jam-an…”<br />“Haaa….” Tiga jam berarti sampai Tegal jam sembilan.<br /><br />Kuucapkan terimakasih, lalu berusaha duduk tenang menghadap kaca di sebelah kanan. Namun, Pikiranku sudah kacau tak bisa lagi dikompromikan. Dari Tegal ke Semarang tiga jam juga. Bisa-bisa sampai terminal Terboyo jam satu malam. Pikiranku masih berkecamuk untuk memikirkan bagaimana cara terbaik. Terboyo tak aman. Apalagi di jam-jam semalam itu. Satu-satunya alat komunikasi penyelamat, hapeku, sudah lebih dulu tewas. Bus terus berjalan dan saya belum menemukan cara yang terbaik untuk penyelesaian masalah. <br /><br />“Mba, maaf, boleh minta satu sms? Hape saya mati..” pintaku, masih dengan orang yang sama, yang baru saja saya ajak bicara tadi.<br />“Silakan..” perempuan dengan kaca mata menghiasi wajahnya itu menyodorkan hapenya. Saya berusaha meminta bantuan teman untuk bisa menginap semalam saja di rumahnya. Satu-satunya teman di kota Tegal yang kartu namanya masih tersimpan di dompet. Andai saja hape tak terburu-buru mati, mungkin masih ada banyak teman lain yang bisa dimintai bantuan. Semoga saja nasibku tidak terlalu buruk. Sudah kemalaman di negeri orang, hape mati, dan harusnya dapat bantuan. Itu yang sekarang saya sangat harapkan. Sekali lagi kuucapkan terimakasih untuk seorang perempuan baik hati yang ada di samping.<br /><br />“Iya sama-sama..” Ia lalu menanyakan apa yang terjadi. Wajahku yang tampak panik terlihat sangat jelas olehnya. Saya menceritakan semua. Sesekali saya menanyakan balasan sms dari teman saya. Sudah lebih setengah jam, tak kunjung ada balasan.<br />“Tenang. Tegal ramai. Tak akan terjadi apa-apa,” ia kemudian menceritakan dirinya yang juga pernah mengalami nasib yang sama denganku. “Orang-orang Jawa baik-baik kok, tak akan terjadi apa-apa..” perempuan itu berasal dari Medan. Tapi sudah lama tinggal di Slawi.<br />“Sebentar lagi aku turun. Kamu hati-hati saja ya Dek…”<br />“Iya, terimakasih Mba…” tak ada balasan sms. Pasrah saja pada Tuhan. Jam berapa pun sampai Tegal, akan saya jalani, cari bus langsung pulang ke rumah. Bus menuju arah Kudus mungkin memang tak begitu banyak. Sebaiknya saya ikut bus Semarang lalu turun di Terboyo. Baru dari sana ikut bus yang melewati kota Kudus. Membayangkan Terboyo, yang tampak orang-orang kekar dengan tato-tato ular di lengan, dan sebagian yang lain berjaket kulit tengah duduk-duduk di kursi-kursi batu pinggiran terminal. Asap –asap rokok dihembuskan ke udara. Tangan-tangan itu masih mengapit sebatang rokok kretek. <br />“Pak, nanti turun jalan Pantura ya..” pintaku pada Pak Supir.<br />“Mau ke mana Mba?”<br />“Ke Semarang Pak. Banyak kan Pak busnya?”<br />“Iya, tenang Mba, kalau bis arah Semarang di sini banyak…” saya diturunkan di halte Pantura kota Tegal. Di depan, saya melihat mal besar yang bertulis Pacific Mall. <br />Tegal malam hari. Becak-becak berada di pinggir-pinggir jalan. Warung-warung tenda juga banyak menghiasi jalan-jalan. Mempermudah mereka yang ingin menikmati suasana malam Tegal dengan tidak banyak mengeluarkan uang. Tegal kota yang tak pernah sepi sebagaimana jalan Pantura yang lain. Saya duduk di halte jalan Sudirman.<br />“Mau ke mana Mba?” Halte hanya ada saya dan seorang lelaki dengan ransel di depannya. Sepertinya itu ransel miliknya. Ia duduk dengan wajah menghadap ke kiri. Kalau saya taksir, usianya sekitar 50-an. Di depan kami, ada satu becak. Seseorang duduk dan menyenderkan kepalanya agak ke samping kiri. Tak berkutik. <br />“Ke Kudus Pak. Bapak mau ke mana?”<br />“Ke Madiun. Kalau bis langsung Kudus tidak banyak. Nunggunya lama. Itu.. itu..ke Semarang. Bis Semarang yang lewat banyak,” jari telunjuknya menunjuk satu bus yang menaikkan penumpang. Kemudian bus itu segera pergi mengacuhkan kami.<br />“Iya, rencana mau naik Semarang dulu aja baru nanti cari yang ke Kudus kalau sudah sampai di terminal Terboyo Pak,” meski masih ragu, sudah tidak ada pilihan lain lagi.<br />“Terboyo rawan, lebih baik menginap di sini saja. Tidak punya teman di sini?” <br />“Ada. Tapi hape mati, tidak bisa menghubungi,” secara spontan, lelaki itu memberikan hapenya ke saya.<br />“Telpon pake ini saja..” karena merasa tidak enak, saya berencana untuk minta satu sms saja. Tapi ia memaksaku untuk menelpon.<br />“Tidak apa-apa. Dipakai saja,” saya mengucapkan terimakasih padanya kemudian mengambil kartu nama di dompet dan memencet nomor 0283XXXX<br />Selesai nelpon, ia langsung menanyakan hasilnya. “Bagaimana, bisa?”<br />“Tidak bisa katanya, Pak. Isterinya belum pulang.”<br />“Walaah, alasan wae. Lha wong temannya lagi benar-benar butuh bantuan kok nggak mau bantu…” suaranya keras, emosinya terlihat. “Ya sudah, cari penginapan saja di sini,” lanjutnya. Ia kemudian memanggil tukang becak. Sontak saja, si tukang becak kaget. Matanya langsung terbuka dan badannya agak tergoncang. Ternyata ia benar-benar terlelap. Untung, becaknya hanya sedikit bergerak. Tak begitu terpengaruh goncangan badan si empunya becak. Setelah benar-benar sadar, tukang becak menghampiri kami. Lelaki itu kemudian menanyakan penginapan di dekat-dekat sini. Ia meminta tolong tukang becak untuk mengantarku ke penginapan itu dan memastikan diriku benar-benar mendapatkan penginapan. Saya berterimakasih padanya dan pamit pergi diantar bapak becak. <br />Perjalanan dari halte ke penginapan tak lama. Hanya sepuluh menit kalau tak salah hitung. Sampai di penginapan, atau lebih tepatnya kos-kosan, saya meminta izin untuk bisa menginap semalam saja kepada ibu kos. Tukang becak masih menunggu di luar pagar. Dua ransel yang kubawa masih berada di tempat duduk becak. <br />Saya tak tahu berapa lama diriku berdiri di depan pintu untuk menceritakan kejadian demi kejadian yang saya alami kepada pemilik kos. Untuk meyakinkan kepada orang yang baru dikenal mungkin agak sulit. Namun usaha itu akhirnya membuahkan hasil juga. Ibu kos ternyata bisa menerimaku tinggal di rumahnya mala mini. Meski awalnya tidak menunjukkan mimik yang ramah, bukan maksudnya untuk berpikir negatif terhadapku. Ia berusaha melakukan prinsip kehati-hatian dalam hal apapun. “Akhir-akhir ini banyak kejahatan, Dek” katanya. Saya mengerti maksudnya. Ia lalu mempersilakanku masuk. Saya mengambil dua ransel dan membayar ongkos becak.<br />“Besok langsung pulang ke Kudus?” bahasa Indonesianya medok ngapak. Saya menjawab pertanyaannya dengan mengangguk. Ia meninggalkan air putih dingin yang ditempatkan di botol air mineral 600 ml dan satu besek nasi diletakkan di samping air mineral. “Ada berkat dari tetangga. Di makan ya. Pasti tadi belum makan kan… Ibu tahu…” sungguh saya bertemu orang-orang baik hari ini. <br />Akhirnya semua baik-baik saja. Mata kupejamkan untuk kembali menengok apa yang terjadi hingga akhirnya ku tak tahu sudah sampai batas mana lamunanku. Dan malam semakin larut. <br /><br />***<br />Bogor, pukul lima pagi. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke desa dan meminta izin kepala desa tentang penelitian yang akan kami lakukan. Saya dan Mba Siti memutuskan istirahat dulu di musholla bus Mawar Indah sampai pukul tujuh. Desa yang akan kami tuju tidak terlalu jauh dari sini.<br /><br />Bojong Asli, desa paling ujung di salah satu pegunungan di daerah Bogor. Mencapai desa itu hanya bisa ditempuh dengan ojek. Pemkab Bogor memang belum memberikan jalur angkot sampai ke desa tersebut.<br /><br />Sampai di balai desa Bojong Asli, kami tak langsung ketemu kepala desa. Baru ada satu orang pegawai yang melayani seorang remaja putra untuk pembuatan surat-surat. Tak jelas itu surat untuk apa. Mungkin pembuatan KTP, atau bisa jadi surat keterangan untuk pembuatan lamaran kerja<br /><br />Sambil menunggu Pak Kades yang belum datang, Saya dan Mba Siti keluar ruangan untuk menikmati kesejukan hawa desa. Banyak sawah padi di sini meski hamparan padinya tak bisa menghijau segar. Daun padinya agak kaku dan warnanya hijau tua semi coklat. Pohon-pohon kelapa juga menghiasi tanah-tanah Bojong Asli.<br />“Selamat pagi…” sapa lelaki dengan kemeja coklat lengan pendek dan celana warna senada. Usianya saya perkirakan sekitar 30 tahun. Kami tak mendengar langkah kaki seorangpun, tapi tiba-tiba kepala desa berada di belakang saya dan Mba Siti. Terang saja kami terkejut. Senyum takut-takut tergambar di wajah kami berdua.<br />“Mari kita masuk,” ajaknya kemudian. Mba Siti mengikutinya. Saya di belakang Mba Siti. Setelah duduk sebentar, seorang perempuan berjilbab membawakan 3 cangkir teh untuk kami. Tehnya tidak manis. Orang Sunda lebih menyukai teh rasa tawar daripada teh manis seperti yang disukai kami orang Jawa. Mba Siti tanpa basi-basi lalu mengutarakan maksud kedatangan kami.<br /><br />“Iya Pak, Saya Siti dan ini Ina,” tanganya diarahkan kepadaku. Saya tersenyum sambil menundukkan kepala sedikit. Mata saya arahkan ke kepala desa untuk menghargai beliau. <br /><br />“Kami dari lembaga penelitian di Yogyakarta. Nama lembaga kami Indonesia Survey Institut atau biasa kami sebut ISI. Tujuan kami ke sini untuk melakukan penelitian tentang kualitas air di desa ini dan dihubungkan dengan kesehatan masyarakat. Karena itu, nanti kita butuh wawancara warga sekitar 100 orang sebagai sempel. Untuk itu, kami minta izin terlebih dahulu kepada Bapak karena di sini Bapak penguasa kawasan,” spontan tawa terdengar dari Pak Kades. Sebelum kepala desa membuka mulutnya untuk menanggapi candaan Mba Siti, yang punya gurauan segera melanjutkan berbicara sambil meralat kata-kata yang baru saja terlontar.<br />“Maaf Pak becanda,” Mba Siti dan saya tertawa. “Maksud saya, Bapak pemimpin di sini,” lanjut Mba Siti. Suasana menjadi cair.<br />“Terimakasih sebelumnya karena kami mendapat kehormatan atas kedatangan ibu-ibu untuk melakukan penelitian ini. Bagi kami, apapun kegiatan yang sifatnya positif untuk kebaikan bersama, kami akan terima dengan baik. Saya sebagai pelayan masyarakat, bukan penguasa ya….” Geerrr. Tawa kembali menyelimuti pembicaraan sebelum akhirnya pernyataan kepala desa kembali dilanjutkan.<br />“…saya sebagai pelayan masyarakat, perwakilan masyarakat, membuka kedua tangan kami untuk kalian. Silakan saja jika memang itu baik. Mungkin apa yang perlu saya bantu?”<br />“Ya Pak. Kami sangat berterimakasih atas kerjasama Bapak Kepala desa. Oya, nanti dari lembaga kami juga menyelenggarakan diskusi untuk membahas hasil dari penelitian. InsyaAllah nanti kami akan mengundang Bapak untuk membahas lebih lanjut tentang permasalahan yang ada di desa ini untuk mencari solusi yang terbaik tentunya,” Bapak kepala desa menggut-manggut. “Untuk pelaksanaan penelitian sebenarnya tidak sekarang Bapak. Hari ini kami hanya bertugas untuk meminta izin terlebih dahulu kepada Bapak sekaligus survei tempat. Selain itu juga kami akan mendata warga yang bulan depan bersedia diwawancarai. Penelitian ini akan dilaksanakan bulan depan begitu Bapak. Dalam waktu tiga hari ini, kami akan turun langsung ke warga untuk mencatat data warga dan meminta izin langsung untuk wawancara bulan depan,” lanjut Mba Siti.<br />“Iya, silakan. Dalam tiga hari ini berarti belum ada tempat tinggal ya? Nanti tinggal di rumah ibu saya saja jika bersedia. Ibu saya tinggal sendiri di rumah,” Kepala desa pergi ke ruang samping untuk berbicara kepada sekretaris desa. Sekretaris desa kemudian pergi keluar dan mengendarai motor bebek satu-satunya yang ada di luar dekat jendela. <br />“Terimakasih, Pak,” ucap kami serentak.<br /><br />***<br />Hari ketiga di Bojong Asli, kami mengejar deadline sebelum berangkat ke wilcah lain. Medan yang naik turun gunung, telusur persawahan karena jarak antar RT yang tidak berdekatan, membuat nafas tak stabil. Harus berhenti sejenak untuk menstabilkan kembali.<br /><br />“Kenapa, capek ya?”<br />“Sebentar Bu RT. Bernafas sebentar,” bu RT tertawa.<br />“Sini-sini duduk di sini sebentar…” Bu RT menunjuk anak tangga tanah yang di atasnya terdapat batu-batu kecil sebagai penghubung tempat yang agak menanjak.<br />Keluarga yang saya kunjungi berikutnya adalah keluarga Pak Ajat. Rumahnya berdinding bambu dengan penyangga kayu di bawahnya laiknya rumah gadang. Lantainya tak menyentuh tanah. Sore itu, yang menemuiku Bu Rahmi, isteri Pak Ajat. Delapan anaknya di ruang tengah. Ada anak yang sedang makan, bermain, bahkan bertengkar. Satu anaknya lagi berada di luar rumah, tak tahu ke mana. Si bungsu anak Bu Rahmi berusia dua tahun dan paling besar berusia tujuh belas tahun. Anaknya masih kecil-kecil. Bertamu ke sini harus lebih sabar.<br /> <br />“Ya..” Jawabnya saat saya meminta bantuannya untuk ngobrol-ngobrol seputar air bulan depan. Singkat. Tak banyak bicara. Tatapannya kosong. Entah ia paham apa yang saya bicarakan atau tidak. Yang pasti, Bu Rahmi sudah menyetujui tentang obrolan itu. Saya dan Bu RT kemudian pamit. <br />Bu Rahmi adalah responden terakhir di Bojong Asli yang saya catat identitasnya di form R, atau form responden. Keesokan paginya, perjalanan dilanjutkan ke Gadog lalu Ciamis dengan tugas serupa. Tiap wilcah selalu mendapat waktu tiga hari untuk menyelesaikan semua tugas. Selalu kejar deadline, dan pekerjaan selesai.<br /><br />***<br />Di kamar yang disediakan sekdes Margaluyu untuk kami. Baju-baju kotor saya masukkan ke ransel. Ransel lebih membumbung dari pada saat berangkatnya. Ada tambahan baju-baju baru yang saya beli karena kehabisan pakaian saat bertugas. Waktu untuk mencuci sangat sempit. Tak sempat mencuci setiap saat. Sedangkan data-data, saya masukkan di ransel satunya lagi. Mba Siti melakukan hal yang sama. Kami bersiap-siap untuk pulang. Margaluyu, wilcah terakhir saya dan Mba Siti.<br />Pengalaman yang menakjubkan. Selama sepuluh hari, setiap pagi hingga malam, harus bertemu sekitar dua puluhan warga untuk mengobrol seputar izin penelitian bulan depan. Kaki terasa ngilu, mulut terasa capek, tapi perut terasa kembung. Hampir setiap rumah disediakan air yang harus kami teguk. Bayangkan kalau kita minum dua puluhan gelas setiap hari. <br /> <br />“Bapak, kami mengucapkan terimakasih atas bantuannya selama ini. Karena pekerjaan sudah selesai, kami pamit untuk pulang,” Ucap Mba Siti. Sekdes mengucapkan terimakasih juga atas kedatangan kami. Ia mengantar sampai depan pintu, lalu kami menunggu angkot untuk tujuan masing-masing. Saya ke terminal Tasik, Mba Siti ke rumah saudaranya.<br /><br />***<br />Telpon berdering.<br />“Hallo…”<br />“Posisi sekarang di mana?”<br />“Di Tegal, Pak?”<br />“Ngapain kamu ke Tegal? Harus ke Jogja sekarang. Hari ini data harus clear…” suara Bos memecahkan keheningan pagi. Masih pukul enam. “Saya tunggu sore ini kamu di kantor!” telpon mati.<br />Sial. Harus kembali gotong-gotong ransel depan belakang, dan kembali ke jalur selatan yang dilalui tadi malam untuk pulang ke Yogya. Bye..bye Kudus.</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-29213662062324707792009-10-11T18:52:00.000-07:002009-10-11T18:55:35.133-07:00Hanya pada-Mu kudapatkan Cinta KekalAku berdosa terhadap-Mu…<br />Dalam khilafku ku besimpuh dan menghaturkan maaf…<br />Padamu bisa kusentuh cahaya Cinta yg abadi…<br /><br />Mohon…<br />Jangan tinggalkanku dlm gelap…<br /><br />Tuhanku, hanya Engkau ya Allah…<br />Berikan hambamu petunjuk dlm hidup..<br /><br />Pada-Mu kuserahkan jiwa…<span id="fullpost"><br /></span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-53318944022038901062009-08-14T04:37:00.000-07:002009-08-14T04:40:26.669-07:00Mereka manusia hebat itu...Dalam sebuah perjalanan dari Stasiun Senen ke Kebayoran Lama, tempat tinggal saya sementara di Jakarta, saya berbincang dengan seorang pria berumur sekitar 50 tahun.<br />“Dari mana?,” tanyanya pada saya.<br />“Dari stasiun Senen, nganter temen-temen balik ke Semarang, Pak. Teman-teman main ke Jakarta. Ada acara,” kataku.<br /><br />Sepanjang perjalanan, sang Bapak mengajak ngobrol banyak hal. Dari hal macam kenapa perempuan-perempuan itu (sambil menunjukkan jarinya ke perempuan-perempuan di luar bus yang bergerombol) tak memakai jilbab, hingga isu terhangat mengenai Nordin M Top. Saya menanggapi sekenanya, sebatas pengetahuan yang saya punyai. Namun, yang agak membuatku tertarik adalah mengenai selorohnya tentang seorang pemuda yang membawa gitar sambil menyanyikan sebuah lagu. Pemuda itu berdiri di sela-sela kursi bus, tempat biasa penumpang hilir mudik naik turun bus.<br />“Kok bisa ya dia hidup dengan kerjaan seperti itu?,” katanya.<br />“Realitanya mereka bisa,” kataku.<br />“Orang-orang yang berani hidup di Indonesia apalagi di Jakarta, menurutku adalah orang-orang hebat,” tambah saya padanya.<br /><br />Hidup adalah perjuangan, terlebih hidup di Indonesia. Mengapa? Apa pun memakai duit. <br />Pernah, seorang kawan berseloroh, “buang air pun di sini pake duit.” Dan itu benar. Ketika membutuhkan kerja untuk berharap penghasilan, kita pun harus menyiapkan segepok uang terlebih dahulu. Seorang kawan dari Jakarta pernah mengatakan bahwa temannya mengeluarkan uang Rp 80 juta agar bisa menjadi pegawai kejaksaan. Yang tidak punya dana, bisa bekerja sebagai pengamen seperti pengamen di bus yang saya naiki. Atau bisa jadi buruh pabrik, dan kerjaan lain di luar sistem yang tak harus mematok harga untuk sebuah pekerjaan.<span id="fullpost"><br /><br />Kembali bicara mengenai seorang pengamen yang disangsikan bisa mencukupi kehidupannya hanya dengan bekerja sebagai pengamen. Dalam hal ini, yang dipertanyakan seorang bapak dalam bus tadi adalah penghasilan. Benarkah penghasilannya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya? Wallahu A’lam. Hanya Tuhan, dia, & keluarganya yang mungkin mengetahuinya.<br /><br />Mengenai pendapatan, saya punya cerita. Ini realita. Orang-orang sekitar Kudus, banyak yang bekerja di pabrik rokok. Teman saya, sebut saja Nik, ia buruh pabrik rokok besar di Kudus. Penghasilan yang didapat setiap harinya Rp6000,-. Ia berangkat bekerja mulai subuh, sekitar pukul lima pagi, hingga pukul dua siang. Bisakah ia hidup dengan penghasilan hanya sebesar itu. Yang lain, buruh payet baju (memasang pernak-pernik untuk menghias baju), mendapat upang perbajunya Rp500,-. Ini lebih miris lagi. Bagaimana mereka menghidupi keluarganya? Mereka yang mengerti caranya.<br /><br />Orang-orang Indonesia, khususnya Jawa, terkenal dengan filosofi “nrimonya”. Bukan tipe manusia yang suka berontak dengan keadaan. Mereka akan berusaha menjalani hidup apa adanya dan selalu bersikap positif akan segala hal. Mungkin ini juga yang membuat orang asing tidak percaya bahwa masyarakat Indonesia masih bisa hidup dan bertahan dalam kondisi krisis yang berkepanjangan. Orang-orang Indonesia sudah terbiasa dengan penderitaan. Orang-orang Indonesia sudah lebih dahulu belajar bijak dalam penderitaan. MEREKALAH ORANG-ORANG HEBAT ITU…<br /></span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-4998479368110213552009-03-01T21:02:00.000-08:002009-03-01T22:05:03.896-08:00Foto SBY Selalu Keluar Sejajar Dengan Mahatma Gandhi<span style="font-weight:bold;">Bicara Polpularitas SBY di Mata Amerika dan Pertahanan Nasional</span><br /><br />(TULISAN INI MURNI DARI HARIAN RAKYAT MERDEKA JAKARTA, 2 MARET 2009. SAYA MEMASUKKAN KE BLOG SAYA, KARENA SAYA TERTARIK. BAGI YG TERTARIK JUGA, SILAKAN BACA & BERI KOMENTAR. TERIMAKASIH.)<br /><br />Connie Rahakundini Bakrie menilai, SBY masih disukai negara Adidaya Amerika Serikat. Bahkan, dirinya memprediksi kongres Amerika berharap agar Ketua Pembina Demokrat itu bisa kembali terpilih pada pilpres 2009 nanti.<br /><br />Penilaian dosen politik UI yang sering menghadiri undangan dari Kongres Amerika ini terlontar saat ditanya wartawan uasi menggelar acara peluncuran buku keduanya yang bertajuk 'Defending Indonesia' di Graha Niaga Jakarta, Jumat (28/09) lalu.<br /><br />Menurut pengamat militer perempuan itu SBY disukai Amerika karena dianggap sangat mendorong proses demokrasi dan bisa menciptakan keamanan pada pelaksanaan pilpres yang pertama kali digelar di Indonesia pada 2004 lalu.<br /><br />Adakah langkah-langkah khusus dari Amerika agar harapannya terwujud? strategi apa yang bakal diterapkan negeri Om Sam tersebut? Bagaimana posisi pertahanan kita di mata internasional? Berikut penjelasan Connie Rahakundini Bakrie kepada wartawan usai konfrensi pers peluncuran bukunya di Graha Niaga, Jakarta.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Anda sering mendapat undangan pertemuan oleh kongres Amerika. Bagaimana referensi mereka tentang Presiden SBY?</span><br /><br />Menurut saya pribadi, tampaknya Amerika sangat mendorong SBY untuk bisa maju lagi dan terpilih dalam pilpres 2009 nanti.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Faktor apa saja yang membuat SBY disukai Amerika?</span><br /><br />Beliau (SBY) dianggap sangat mendorong proses demokrasi. Kemudian pemilu 2004 bisa sukses dan terhindar dari kerusuhan.<br /><br />Meskipun menurut saya, pemilu itu bisa lancar dan berhasil karena berkat KPU-nya. KPU periode 2004 itu adalah KPU yang paling hebat.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kenapa Anda bisa menyimpulkan demikian (SBY disukai Amerika)?</span><br /><br />Pada saat saya sekolah, foto dia setiap hari selalu keluar sejajar dengan Mahatma Gandhi. Coba Anda bayangkan, dari sekian banyak pemimpin dunia, foto SBY selalu keluar pada saat saya belajar. Nah, di situlah saya asumsikan bahwa mungkin SBY ini disukai Amerika.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Apakah itu karena SBY mengamankan kepentingan Amerika, misalnya soal PT Freeport, Exxon Mobil dan lainnya?</span><br /><br />Kalau soal itu, saya harus ngomong hati-hati. Tapi, intinya saya ingin membangkitkan Indonesia bahwa kita ini jangan hanya memikirkan perhatian Amerika terhadap negara kita, tapi apa yang harus kita perbuat.<br /><br />Satu hal yang kita kurang adalah kita itu tidak punya nasional interest. Kita masih berpikiran bangsa kita itu kaya, SDA (sumber daya alamnya) bisa diambil kapanpun. Kita masih berpikiran kita ini dalam posisi yang aman dan damai. padahal sebenarnya tidak.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Anda berpandangan bahwa negara kita dalam bahaya...</span><br /><br />Pasukan asing itu sudah banyak berkeliaran dan bergerak di negara kita, khususnya di wilayah sebelah Timur dan Selatan Indonesia.<br /><br />Apalagi, kalau misalnya perkembangan Cina yang sudah mulai rising star, hal-hal seperti itu juga sudah mulai harus kita antisipasi. Tentu, bakal ada perubahan besar di Asia Pasifik.<br /><br />Indonesia ini selalu membangun TNI tanpa ada persepsi ancaman. Kita ini dalam mengeluarkan anggaran selalu beralasan karena tidak ada ancaman makanya anggaran untuk TNI diturunkan.<br /><br />Padahal ancaman kita itu ada (bisa muncul) dari negara-negara tetangga. Misalnya, Singapura, mereka itu sudah menambah armada perangnya. Australia, demikian juga dengan Malaysia.<br /><br />Sementara alutsista pertahanan kita sangat jauh ketinggalan dengan mereka hanya karena alasan tidak ada dana.<span id="fullpost"><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Di mata Amerika, mungkinkah ada keinginan agar SBY-JK bisa berduet kembali?</span><br /><br />Hanya SBY sendiri waktu itu.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Menurut Anda, apakah Amerika juga melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mewujudkan harapannya?</span><br /><br />Soal itu, saya harus jawab hati-hati. Kalau saya katakan iya, bisa salah juga. Tapi kan kita bisa amati semua. Bagaimana kepentingan yang seperti dijelaskan Pak Tanto (Bantarto Bandaro Direktur Diplomasi Pertahanan, dalam acara konferensi pers peluncuran buku 'Defending Indonesia) agar Asia Pasifik ini aman. Apalagi Indonesia ini adalah negara yang besar. kalau nanti sampai terjadi apa-apa bisa bubar.<br /><br />Tapi sekarang yang menarik ini adalah hubungan kita (Indonesia-Amerika) menjadi seksi, bahwa kekuatan kita itu tidak sama. Nah, sekarang bagaimana caranya supaya kekuatan kita itu bisa sama dengan negara-negara lain.<br /><br />Kalau kita mau jadi partner, minimal posisi kita harus sama dengan mereka. Pemimpin kita harus berani meningkatkan diplomasi untuk bisa bekerja sama secara internasional dengan negara mana pun.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Apakah kita masih lemah dalam hal diplomasi dengan negara-negara lain?</span><br /><br />Saya pikir ya. Kita ini selalu nonblok. Sekarang itu kita harus jelas ngebloknya ke mana.<br /><br />Misalnya, industri senjata. Kalau Amerika tidak mau kasih ilmunya, ya sudah sama Cina atau India juga nggak apa-apa. <br /></span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-49504121159763564032009-02-27T19:38:00.000-08:002009-03-01T22:06:09.875-08:00Ketika Impor Obat dibatasi...<span style="font-weight:bold;">Siti Fadilah; Saya digoyang washington, London, dan Tokyo</span> <br /><br /><br />Kembali Siti Fadilah Supari membuat gebrakan. Ia memunculkan kebijakan baru dg mengeluarkan permenkes 1010/2008 yang mengharuskan semua obat-obatan yang dijual di Indonesia di produksi di dalam negeri. Dengan peraturan tersebut, otomatis masuknya obat impor semakin terbatas. "Saya digoyang Washington, London, dan Tokyo," kata Menkes di Jakarta, kemarin. (kutipan diambil dari Harian Rakyat Merdeka, Jakarta).<br /><br />Siti fadilah mengatakan, pihak yang menekannya adalah The US Chamber of Commerce (Kadin Amerika Serikat) yang berkantor di Washington. Lembaga tersebut mengirim surat resmi ke Departemen Kesehatan meminta pencabutan permenkes tersebut. Selain itu, konselor Uni Eropa dan Duta Besar Jepang juga melakukan hal sama. "Konselor Uni Eropa dan Ambassador Jepang datang langsung ke sini (Depkes), meminta saya mencabut SK," kata Siti Fadilah. Dengan tekanan tersebut, Siti fadilah mengaku sama sekali tidak takut.<br /><br />"Apakah rasa kebangsaan kita tidak tersinggung. Mana ada mentri disuruh nyabut SK oleh orang asing. Kalau yang menyuruh rakyat sih tidak apa-apa," katanya.<br /><br />SK yang dikeluarkan Siti Fadilah Supari bertujuan untuk mengembalikan fungsi Pedagang Besar Farmasi (PBF) agar tidak mengimpor obat. Ia ingin melawan neoliberalisme di bidang kesehatan. "Obat impor silakan masuk, tapi buat pabrik di sini. Biar rakyat Indonesia dapat lapangan kerja. Masa hanya ambil untung di Indonesia, lalu keuntunganya dibawa ke negara meraka," katanya lagi.<span id="fullpost"><br /><br />Lanjut Menkes, selama ini pasar obat Indonesia merupakan yang terbesar keempat setelah AS, Tiongkok, dan India. Negara-negara tersebut sudah melakukan proteksi, hanya Indonesia yang masih diinjak-injak. "Makanya sekarang mafia obat sebel sama saya," katanya. Tekanan tersebut tidak hanya datang dari pihak asing. Dari dalam negeri juga banyak yang melakukan hal yang sama. Sejak sengeluarkan SK tersebut, Depkes terus didiskreditkan dengan sejumlah isu. Mulai isu korupsi Jamkesmas hingga terakhir pengadaan alat-alat kesehatan.<br /><br /> ***<br /><br />Keberanian untuk melawan hegemoni asing seharusnya tidak hanya terjadi di bidang kesehatan. Namun, keberanian Siti Fadilah bisa memberi sedikit harapan untuk kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia, Khususnya di dunia kesehatan. Minimal harga obat yang selama ini selangit bisa terjangkau masyarakat bawah.Selama ini, rakyat harus membayar mahal untuk kesehatan mereka. Bagi kalangan mampu, hal ini tentu bukan menjadi masalah. Namun, bagi mereka yang masuk dalam kategori rakyat miskin, haruskah tidak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan layanan yang terbaik bagi kesehatan mereka? Sudah bukan rahasia lagi jika semua hal yang berkait dengan rumah sakit, dokter, dan obat-obatan Indonesia harganya mencekik leher. <br /><br />Bersambung....</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-21197013292640930382008-10-21T21:24:00.000-07:002008-10-21T21:31:16.968-07:00Suratku buatmu:<span style="font-weight:bold;">Maaf, Janjiku tertunda sementara</span><br /><br />Besok adalah hari terindah untuk sepupuku, Siti Rukilah. Tepat di tanggal 23 Oktober 2008, ia akan melangsungkan pernikahan yang akan menjadi awal hidup barunya dan kebahagiannya kelak untuk selamanya; doaku untuknya dari jauh, namun selalu dekat di hati.<br /><br />Mulanya akan saya ucapkan kata maaf untuknya. Maaf untuk kehadiranku yang terlambat. Janjiku untuk datang beberapa hari sebelum pernikahannya ternyata belum bisa saya penuhi karena masih harus mengurusi keperluan untuk wisuda. Tapi yakin dan percayalah, hari ini saya akan meluncur dari Semarang untuk pulang ke kota tercinta kita.<br /><br />Penyesalanku sebenarnya tidak hanya tertuju padanya. Beberapa bulan ini saya sering tidak bisa datang memenuhi undangan orang-orang terdekat saya. Yati, teman kampusku, yang baru saja menikah tanggal 7 Oktober beberapa hari yang lalu. Mbak Yanti dan Rahayu, sepupu dari pihak ibu dan bapakku, yang juga baru menikah dua bulan lalu. Saya minta maaf. Doaku selalu untuk kalian, beserta teman-teman saya yang menikah pada tahun 2008 dan 2007.<span id="fullpost"><br /><br />2007 dan 2008 menjadi tahun yang penuh sesak buatku. Hampir tiap bulan selalu saja ada undangan yang nempel di tangan. Undangan pernikahan. Tidak, tak ada kata gerah buatku untuk menerimanya karena itu sebuah kebahagiaan. Dan akhirnya, saya hanya bisa berdoa:<br /><br />“Tuhan, langgengkan kebahagiaan orang-orang yang ada di sekitarku. Dan semoga kebahagiaan-kebahagiaan itu akan menjadi virus positif yang menular pada mereka yang berada dalam keputusasaan hidup, amin.”<br /><br />(saya melihat berita di Seputar Indonesia yang tayang di RCTI, yang menginformasikan mengenai meningkatnya penghuni Rumah Sakit Jiwa di Indonesia yang ditengarai makin tingginya tingkat stres masyarakat Indonesia. Saya sangat prihatin).</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-2480043731755196762008-10-21T20:52:00.000-07:002008-10-21T20:55:10.423-07:00Alasan itu perlu dibuatSudah lama sekali saya tidak menulis untuk blogku tercinta. Ini bukan berarti tanpa alasan meskipun alasan memang semestinya harus dibuat. Beberapa alasan yang masuk akal adalah karena beberapa bulan kemarin saya harus menyelesaikan skripsi yang lama terbengkalai, dan sedikit sibuk dengan kerja paruh waktu. Namun kedua alasan tersebut masih bisa diatasi karena tersedianya komputer sewaan. Jadi, kapan saja ingin menulis, langsung saja menghidupkan komputer dan mengeluarkan semua unek-unek di kepala. Nah, alasan yang paling serius mengapa harus vakum sementara dalam menulis adalah saat masa sewa habis dan komputer tak lagi ada di tangan. Belum lagi flash disk ikut-ikutan eror. Sudah deh, dunia terasa tamat.<span id="fullpost"><br /><br />Tapi tunggu dulu,<br />Tuhan Maha Tahu yang terbaik buat diriku. Thanks God, Kau telah memberiku flash disk lagi melalui tangan indah ibuku. Love u so much. Dengan flash disk ini, nanti mungkin saya akan lebih sering ke internet dan menyimpan tulisan-tulisanku yang bisa kubuat dari komputer teman he3…thx… </span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-42904646415271136662008-05-11T04:01:00.000-07:002008-05-11T04:03:47.837-07:00Ceriwis: Mari belanja ke Singapura, Bu’…Jumat siang sekitar pukul satu, saya nonton reality show yang dibawakan Indie Barens dan Indra Bekti. Sebuah tontonan yang cukup banyak penggemar karena terbukti bisa bertahan cukup lama. Mungkin sekitar enam tahun, saya tidak tahu pasti. Suksesnya acara ini juga bisa dilihat dari banyaknya iklan yang mereka dapat. Jika dulu iklan tak pernah masuk dalam acara (dipromosikan Indie Barens dan Indra Bekti langsung), sekarang kita bisa melihat aksi mereka dengan produk-produk sponsor yang diterima. <br /><br />Ceriwis merupakan tayangan yang menghibur, termasuk tayangan yang dibuat tidak untuk beridealisme tingkat tinggi. Atau bisa dikategorikan tayangan yang komersil. Jadi sangat wajar jika produk (acara) dibuat untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ceriwis bagian dari pohon duit Trans TV.<br /><br />Dua hari yang lalu, 9 Mei 2008, saya melihat ceriwis dengan iklan yang bagi saya cukup mengejutkan. Background layar memperlihatkan gambar patung singa, dan sekaligus menampilkan keindahan kota berikon singa itu. Sejenak kemudian, beberapa perempuan Indonesia bercerita dengan wajah berbinar. Mereka memenangkan undian belanja ke negara tersebut. <br /><br />Selanjutnya bisa ditebak, konsep acara hari itu dibuat “Singapura banget”. Panggung ditata seperti pusat perbelanjaan, dan perempuan-perempuan pemenang undian memperagakan berbelanja di Singapura . Satu lagi, Indra Bekti ditata laiknya perempuan dengan wig blow pendeknya, dan baju lengan terbukanya. Perubahan Indra Bekti menjadi perempuan seolah-olah melengkapi sebuah makna yang dimunculkan bahwa Singapura adalah surga belanja bagi perempuan. <br /><br />Singapura cukup lihai memilih ceriwis sebagai partner promosinya. Di samping rating ceriwis cukup tinggi, penggemar yang sebagian besar ibu-ibu, merupakan aset yang sangat potensial untuk menggaet turis Indonesia untuk program Wisata belanja Singapura. Apalagi celotehan-celotehan khas ceriwis cukup ampuh mempengaruhi masyarakat. Inget dong..dong..dong..yang pernah cukup populer di masyarakat, kata ‘baguuuus…’ juga pernah melejit, dan akhir-akhir ini kata Bu’ sangat sering didengar di mana-mana. Lalu bagaimana pengaruh promosi Wisata Belanja Singapura terhadap masyarakat Indonesia? <br /><br />Sejenak kita tinggalkan tanda tanya di atas dan coba menengok bulan-bulan akhir di tahun 2007. Ada apakah gerangan di akhir tahun tersebut? <span id="fullpost"><br /><br />Akhir 2007 merupakan bulan yang sempat heboh dengan pemberitaan promosi wisata Malaysia yang memakai Reog Ponorogo sebagai komoditas wisatanya. Kementerian Malaysia menyebut Reog Ponorogo dengan Tari Barong. Mereka berdalih bahwa Tari Barong merupakan salah satu budaya Malaysia yang sudah lama menjadi milik masyarakat Malaysia. Masyarakat Indonesia tidak terima, dan berita di media-media di Indonesia banyak menurunkan pemberitaan tersebut, tak terkecuali Trans TV. <br /><br />Saya menangkap alasan penurunan berita tersebut tak lain karena nasionalisme yang dimiliki masing-masing insan media terhadap bangsanya. Mereka tidak rela jika aset bangsa yang menjadi kekayaan Indonesia lebih memberi kemanfaatan bagi bangsa lain. Penurunan berita tersebut, selain menumbuhkan rasa kepemilikan aset bangsa bagi masyarakat, juga sebagai ajang pemersatu masyarakat Indonesia. <br /><br />Dengan adanya berita tersebut, media juga sangat diuntungkan. Kasus yang menyangkut permasalahan orang banyak tentu sangat diminati, dan ujung-ujungnya adalah rating dan keuntungan sebesar-besarnya bagi pelaku bisnis. Dan akhirnya, apa sebenarnya yang ada di pikiran pebisnis-pebisnis media dengan penayangan berita semacam itu? Tiap media pasti mempunyai alasan yang berbeda-beda.<br /><br />Lalu bagaimana dengan iklan promosi wisata belanja Singapura yang ditayangkan ceriwis? Tentu sangat kontras dengan kejadian akhir 2007 lalu saat Trans TV sangat getol menurunkan berita tentang Tari Barong Malaysia. Sebuah tanda sempat terlintas, “Malaysia no, Singapura yes”. Adakah yang istimewa dengan Singapura? Tentu saja negara Singa itu sangat menggiurkan iming-iming dolarnya.<br /><br />Hal yang sangat menyedihkan ketika kita mengingat bahwa tahun ini adalah tahun ditetapkannya program “Visit Indonesia 2008” oleh pemerintah. Indonesia berusaha menggait turis masuk ke dalam, dan ceriwis berusaha mencari orang-orang yang bersedia membelanjakan uangnya ke negara tetangga. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Mei bulan kebangkitan Nasional</span><br /><br />Beberapa iklan yang tayang di televisi, akhir-akhir ini agaknya ada yang berbeda. Iklan indosat dan telkomsel misalnya memilih konsep cinta tanah air untuk iklan terbarunya. Pemilihan konsep yang tidak seperti biasanya ini tentu beralasan. Jika boleh ditelusuri, dan dikaitkan dengan penayangannya pada bulan Mei tentu berkait dengan keberadaan bulan ini yang istimewa. Mei, tepatnya tanggal 20, adalah Hari Kebangkitan Nasional. Jadi sangat wajar jika kedua iklan operator terkemuka di Indonesia itu lebih menjatuhkan konsep nasionalisme untuk memengaruhi penggunanya. <br /><br />Tujuan yang bisa dilihat dari adanya kedua iklan itu sudah sangat jelas, yaitu komersialitas. Tanpa diamati lebih mendalam pun tujuan iklan tersebut sudah sangat tertebak karena alasan yang sangat mendasar dari sebuah penayangan iklan adalah menggaet konsumen. Namun yang perlu digarisbawahi, jika kita ingin melihat segi positifnya adalah penghargaan terhadap bulan Mei sebagai bulan Kebangkitan Nasional.<br /><br />Sebuah iklan yang bertujuan dasar komersil dan sebuah program televisi yang berdasar sama, komersialitas. Namun, bisakah perhitungan keuntungan dipertajam dengan dampak yang diakibatkannya? <br /><br />Pengaruh ceriwis yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat tentu tidak menutup kemungkinan ajakan Indie untuk beramai-ramai belanja ke Singapura juga diikuti masyarakat. Akankah masyarakat yang konsumtif akan dibawa semakin konsumtif?</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-6980294907645849592008-05-01T01:27:00.000-07:002008-05-01T01:55:53.244-07:00Juru TulisCeritakan mimpimu padaku dan ku kan mencatatnya dalam kertas-kertas khusus<br />aku seorang notulen, tentu bisa mendengarkan dan menuliskannya untukmu<br /><br />perlukah aku yang merajutnya<br />atau Anda bisa menyortir dan merangkainya sendiri<br />jika ada kepercayaan yang Sampean letakkan pada kepalaku<br />tentu itu lebih menyenangkan<br /><br />sebuah pilihan yang ringan, tentu...<br /><br />sekarang hanya menunggu waktu dan silakan melayang<br />aku akan tetap duduk di sini<br />dalam rotan yang telah terpatri<span id="fullpost"><br /><br />tak usah takut sesuatu yang gaib<br />lakukan saja,<br />dan terus lakukan<br />biarkan hasil itu mendekat rapat<br />dan ia akan terus mendekapmu<br />sampai aku tak mengetahuinya kemudian,<br />kemudian, kemudian, kemudian,.... </span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-34877507214169352742008-05-01T01:16:00.000-07:002008-05-01T01:26:42.247-07:00Say “yes” to know about HIV/AIDSJangan pernah antipati terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Ia bisa mengancam siapa saja termasuk mereka yang cenderung berperilaku “bersih”. <br /><br /><br />Ini Fakta. Yayasan Pelita Ilmu (YPI) menyatakan telah menemukan ibu rumah tangga dan bayi-bayi positif HIV. Konseling dan tes darah yang dilakukan yayasan tersebut antara tahun 2003-2006 terhadap 2470 ibu hamil di permukiman padat penduduk Jakarta menunjukkan 11 atau 0,5 % di antaranya HIV positif.<br /><br />Alasan yang mungkin mengenai ditemukannya kasus ibu rumah tangga “bersih” mengidap HIV positif adalah karena pasangan mereka telah lebih dulu terkena virus mematikan tersebut. Bisa karena jajan sembarangan, atau melakukan hubungan intim dengan perempuan pengidap HIV positif.<br /><br />Selain itu, bisa juga disebabkan karena pasangan mereka pernah mengonsumsi narkoba suntik. Jarum suntik yang dipakai bergantian antar pemakai sangat rawan menularkan HIV. <br /><br />Human Immnunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab AIDS. Sedangkan AIDS kependekan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrom, yaitu sindrom menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Orang yang mengidap AIDS sangat mudah tertular berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita telah menurun.<br /><br />Lebih lanjut tentang HIV/AIDS:<br />* Media penularan HIV<br />1. Cairan darah<br />2. Cairan sperma maupun cairan vagina yang terinfeksi HIV<br />3. Air susu ibu yang terinfeksi<br /><br />* Cara penularan HIV/AIDS<br />1. Berhubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi HIV<br />2. Transfusi darah menggunakan darah yang terinfeksi HIV<br />3. Jarum suntik dan media benda tajam yang terinfeksi HIV<br />4. Ibu hamil yang terinfeksi HIV bisa menularkan pada janin dalam kandungan saat persalinan dan menyusui<span id="fullpost"><br /><br />* HIV/AIDS tidak menular melalui hal-hal berikut:<br />1. Bersalaman, ciuman pipi, berpelukan, bersentuhan<br />2. Memakai peralatan makanan dan minuman yang sama dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)<br />3. Digigit serangga atau nyamuk<br />4. Berbagi pemakaian fasilitas umum seperti kamar mandi atau WC, kolam renang<br />5. ODHA batuk atau bersin di dekat kita<br />6. Hidup serumah dengan ODHA<br /><br />* Stop HIV dan cegah dengan:<br />1. Tidak melakukan hubungan seks berganti-ganti pasangan tanpa kondom<br />2. Cobalah bersetia dengan pasangan<br />3. Hindari pemakaian jarum suntik bergantian<br />4. Bagi ibu hamil, sebaiknya melahirkan melalui caesar untuk menghindari virus yang terdapat pada vagina. Dan berilah bayi Anda susu formula karena air susu ibu menjadi bagian media penyebar HIV.<br /><br />Deteksi AIDS terbilang sulit. Hingga beberapa tahun, pengidap HIV bisa tidak menunjukkan gejala-gejala klinis, namun ia sudah dapat menularkannya pada orang lain. <br /><br />Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai pada seseorang yang mengalami hal berikut. Bisa saja ia termasuk orang yang terkena virus tersebut. Di antaranya adalah berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, batuk menetap lebih dari 1 bulan, infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita. <br /><br />Untuk lebih memastikan, satu-satunya cara mengetahui terkena tidaknya HIV, sebaiknya melakukan tes darah di rumah sakit atau laboratorium khusus. Semoga berguna. Matursuwun. <br /><br />Referensi: dari berbagai sumber.</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-66023830299799966682008-03-26T00:04:00.000-07:002008-03-26T00:32:57.029-07:00Saya Dibuai Cinta Seorang Perempuan Solo;Siti Fadilah SupariSosok yang berhasil mereformasi sistem di WHO yang telah mapan selama hampir 60 tahun<br /><br />Kata orang benci dan cinta hanya berbatas kain tipis. Orang yang membenci berlebihan ujung-ujungnya akan terjatuh pada dekapan cinta. Karena itu, orang-orang dulu sering mewanti-wanti janganlah bersikap berlebihan atas kata benci ataupun kata cinta karena bisa saja kata-kata tersebut bermetamorfosis 180 derajat atas apa yang tidak kita inginkan. Dan ternyata itu benar adanya, kata-kata bijak yang saya abaikan sekarang menimpa diri saya. Sebuah cinta yang berawal dari kebencian. Hebatnya tak ada keresahan yang mengkhawatirkan, dan saya bersyukur atas itu.<br /><br />Dia perempuan Solo. Seorang dokter yang lahir dari Universitas terkemuka di salah satu kota besar di Jawa Tengah, Universitas Negeri Solo (UNS). Ia adalah DR dr Siti Fadilah Supari, Sp JP (K), seorang Menteri Kesehatan era SBY-JK.<br /><br />Cinta saya pada beliau tumbuh baru kemarin sore, 25 Maret 2008. Biang keladinya sohib dekat saya, yang seorang perempuan juga. Ia baru saja datang dari kuliah umum di gedung Pasca Sarjana Undip. Kuliah Umum yang diselenggarakan Fakultas Sastra Undip yang bertajuk “Saatnya Dunia Berubah” –In the Spirit of Dignity, Transparancy and Equity- oleh dr Fadilah Supari sendiri. Ekspresi sohib saya penuh kegembiraan dan kebanggaan saat datang dan menghampiri saya. “Oh, wajar baru ketemu menteri,” pikirku.<br /><br />Sejujurnya saya tak pernah berminat untuk tahu tentang sosok seorang Menteri Kesehatan era sekarang, Siti Fadilah Supari. Sepengetahuan saya, yang tentu tahu beliau hanya dari televisi, beliau adalah orang yang keras, sering ceplas ceplos dalam berbicara, kurang menghargai orang lain, dan kurang peduli terhadap orang. Tapi stigma itu mulai luntur oleh cerita sohib saya yang melihat beliau secara langsung. <br /><br />Karakter yang sangat nampak pada diri beliau adalah keras dan tak mau kenal kompromi. Mungkin karena sifat itulah ditambah prinsip kerja dengan hati nurani, beliau berhasil mereformasi sistem di WHO yang telah mapan selama hampir 60 tahun. Sebuah sistem yang tanpa keadilan, ketransparanan, kesetaraan antar bangsa dalam bidang kesehatan. “Menteri Kesehatan Republik Indonesia memerangi Flu Burung bukan hanya dengan obat-obatan tetapi juga dengan ketransparanan,” the Economist (UK). <span id="fullpost"> <br /><br />Berikut cerita singkat perjuangan Menteri Kesehatan Indonesia, Siti Fadilah Supari yang diambil dari tulisan beliau untuk kuliah umum di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang:<br /><br />Sebagai catatan, setiap Negara yang terkena penyakit menular seperti Flu Burung harus menyerahkan spesimen virus secara sukarela ke GISN (Global Influenza Surveilance Network) yang seolah-olah bagian dari WHO. Virus yang telah diterima oleh GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN; kemudian diproses untuk risk assessment dan riset para pakar. Di samping itu, tanpa pengetahuan si pengirim, virus tersebut juga diproses menjadi seed virus (yang kemudian dipatenkan). Dan dari seed virus inilah dapat dibuat suatu vaksin.<br /><br />Tetapi kewajiban ini tanpa diimbangi oleh pihak WHO dengan suatu keterbukaan, kemana virus itu dimanfaatkan. Ujung-ujungnya, setelah menjadi vaksin dipatenkan perusahaan farmasi tertentu yang berada di Negara maju (Amerika Serikat). Kemudian beratus-ratus juta dosis vaksin ditawar-tawarkan dengan harga sangat mahal oleh industri farmasi ke negara yang menginginkan vaksin tersebut, termasuk ke Negara-negara yang terkena Flu Burung yang notabene negara-negara sedang berkembang bahkan miskin. Kemudian saya tersentak ternyata GISN bukan bagian struktural dari WHO, tapi merupakan underjurisdiction US Government!<br /><br />Kekecewaan saya semakin memuncak manakala terjadi kasus meninggalnya berturut-turut tujuh orang pada satu keluarga di Tanah Karo, Sumatra Utara. Ternyata WHO dengan semena-mena menuduh telah terjadi human to human transmission (menular dari manusia ke manusia) dengan disiarkan langsung CNN. Padahal pada pemeriksaan sequencing DNAvirus-virus yang berada di sana, ternyata masih dalam bentuk yang sama dengan yang menular dari hewan ke manusia (animal to human transmission).<br /><br />Pada momentum inilah saya mendapatkan kenyataan bahwa ada ketertutupan dari WHO-CC terhadap scientist dunia, di luar scientist WHO. Bahkan saya baru tahu kalau data sequencing DNA berada di Los Alamos, New Mexico (AS). Pada kesempatan ini juga pada tanggal 8 Agustus 2006 sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia menjadi pelopor pertama di dunia untuk mentransparankan data DNA virus di Gene Bank. Hal ini sangat membahagiakan para ilmuwan di dunia karena selama 60 tahun para ilmuwan tidak bisa mengakses secara bebas data sequencing DNA dari WHO (kecuali 15 scientist). (Selengkapnya silakan baca di buku Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung karya Siti Fadilah Supari).<br /><br />Untuk perjuangan yang tak kenal lelah, saya hanya bisa mangatakan salut untuk Ibu Siti Fadilah Supari. Semoga keberhasilan itu menjadi inspirasi untuk menguak ketidakberesan sistem di dunia dalam segala bidang terlebih di Indonesia tercinta sendiri. Tidak ada lagi eksploitasi bangsa yang kuat terhadap bangsa yang lemah. Dan tujuan utama menuntut kesetaraan hubungan antar bangsa akan benar-benar terwujud. </span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-39125287545160002662008-03-15T18:27:00.001-07:002008-03-15T20:54:56.290-07:00Minggu Pagi di Simpang LimaMinggu 16 Maret 2008, hari ini, pagi-pagi sekitar pukul 05. 30 WIB saya keluar dari daerah kekuasaan saya (kos-kosan maksudnya) bersama seorang teman perempuan. Sohib saya yang satu ini ingin belanja pakaian di pusat perbelanjaan Simpang Lima. Pertanyaannya sekarang, sudah adakah kios yang buka sepagi itu? <br /><br />Jawabnya ada di cerita saya berikut. Cerita ini tidak wajib dibaca untuk orang yang sudah mengerti atau orang asli Semarang. Tapi, tentu saja tidak berdosa kalau membacanya..he2..<br /><br />Setiap hari Minggu pagi, biasanya dimulai dari Sabtu sore, banyak pedagang bertumpah ruah di alun-alun Simpang Lima. Mereka menawarkan beraneka macam dagangan, lumayan lengkap lah. Ada pakaian, sandal, meja belajar, jajanan pasar hingga kue-kue macam brownis dan tempura, buah-buahan, buku bekas, obat-obatan tradisonal, bumbu-bumbu masak, poster-poster artis, hingga permainan lempar gelang ke botol. Asyik berbelanja dan asyik bermain.<br /><br />Mungkin hal ini tak berbeda dengan pasar-pasar kebanyakan tapi kemunculannya yang tidak tiap hari membuat keramaian pagi di Simpang Lima tampak eklusif.<br /><br />Dulu, setahun atau dua tahun yang lalu, saya sering berkunjung ke pasar pagi tersebut. Saya dan teman-teman yang memakai jilbab, biasanya lebih suka berburu jilbab di sana. Di samping harganya yang lebih murah, jilbab yang ditawarkan bervariasi dan sesuai trend yang ada.<span id="fullpost"><br /><br />Selain jilbab, teman-teman saya hobi sekali nyari awul-awul. Awul-awul ialah pakaian <span style="font-style:italic;">second </span>yang masih layak pakai. Dengar-dengar sih barang-barang itu import dari Malaysia, Singapura, Korea dan negara-negara lain. Alasan mereka yang suka buru awul-awul adalah soal harga yang tentu saja sangat murah. Dan jika pintar memilih bisa dapat yang benar-benar bagus. Sepuluh ribu bisa dapat tiga potong baju. Harga yang menakjubkan tapi saya sendiri tidak tertarik. <br /><br />Ketidaktertarikan saya tentu bukan karena gengsi, namun lebih kepada harga diri bangsa (ceile..he2). Jika barang-barang mewah seperti elektronik saja kita import, layakkah sampah-sampah seperti itu juga harus diimport? <br /><br />Jika teringat import kondom bekas perusahaan Latex yang sempat heboh beberapa bulan lalu, saya merasa miris sendiri. Namun semua terserah pribadi masing-masing. Tiap orang punya niat dan pertimbangan sendiri untuk memutuskan sesuatu, termasuk minat membeli awul-awul.<br /><br />Terlepas dari itu semua, berkunjung ke Simpang lima tetap punya sensasi tersendiri. Menikmati segarnya pagi di ibu kota Jawa Tengah dan berkeliling menyusuri kota jika Anda berminat menyewa andong untuk jalan-jalan. Bagi yang suka ngeceng, tentu saja tak akan rugi. Perempuan-perempuan cantik maupun pemuda-pemuda ganteng banyak yang berkeliaran di sana. Silakan dibuktikan jika Anda mampir ke kota Lunpia tersebut.</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-1556071906414668982008-03-15T18:20:00.000-07:002008-03-15T18:26:04.855-07:00Life is BeautifulSaat menatap laut, ku katakan hatiku begitu damai<br />Suara gemericik air membawaku pada <br />Angan yang…<br />Memberi ruang tanpa bentuk keindahan semu<br /><br />Nyata, jiwa ini telah mati<br />Jiwamu pun bagitu<br /><br />Barangkali beginilah <br />Sisi yang mewujud pada malam remang-remang<br />Kala itu<br /><br />Sudah<br />Relakan semua <br />Nasib mengajarkan pada kebaikan yang tidak baik<span id="fullpost"><br /><br />Namun,<br />Adakah sesuatu yang tersisa?<br />Yang akan membawa pada binar mata juga senyum hati<br />Untuk semua<br /><br />Harapku,<br />Bayangku,<br />Masih tertuju pada cita yang terajut<br />Pagi itu<br /><br />Senjaku cantik sekali…</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-36059318587539909062008-02-08T23:44:00.000-08:002008-02-08T23:49:23.467-08:00Dewa punya hati, Sayang…Terimakasih telah mengertiku<br />Menjejak langkah menuju lorong surgamu yang Agung<br />Emas menyala-nyala di atasnya<br />Penuh pesona dalam pencarianmu kini, juga nanti<br /><br />Percayakah kau pada keajaiban waktu?<br />Dewata menciptakannya dengan hati dan perasaan<br />Tentu di dalam arasy-Nya, di atas langit<br /><br />Kelak kau akan tahu<br />Bagaimana Ia dengan senyum-Nya berucap pada kita <br />Tentang kebenaran dan keindahan sebuah takdir<br />Pada diri engkau, aku, dan mereka <span id="fullpost"><br /><br />Tuhanku Maha Pengasih dan Penyayang<br />Tiada yang lebih dari pada-Nya </span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-88896673917942081042008-02-08T23:26:00.000-08:002008-12-10T14:53:30.873-08:00Menuju Islam InklusifDekonstruksi Sastra Pesantren<br />Dr M Abdullah M.A<br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj65XZPyRtmKxNJl5YMFu4XFBeXxSAet1vsRjQmA1erBICw5W7FjbEUCMU4CsCrIykgEc0J7Q4f_U9fGcSMQTqsMrsUvwBBMYBFh10W4T9qXnZ9URHuwf1mvEwHqt_tBgk1e42-WNH55KE/s1600-h/100_5552.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj65XZPyRtmKxNJl5YMFu4XFBeXxSAet1vsRjQmA1erBICw5W7FjbEUCMU4CsCrIykgEc0J7Q4f_U9fGcSMQTqsMrsUvwBBMYBFh10W4T9qXnZ9URHuwf1mvEwHqt_tBgk1e42-WNH55KE/s200/100_5552.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5164886605893501794" border="0" /></a>Belakangan ini, banyak pemikir Islam dari halaqah (majlis ta’lim) di masyarakat, terutama aktivis kampus dan aktivis pesantren yang menyuarakan gagasan baru dan sistem penafsiran baru terhadap ajaran Islam, khususnya ilmu kalam. Kelompok ini terang-terangan menghantam ajaran teologi Asy’ariyah, ajaran yang banyak dianut warga NU.<br /><br />Fenomena ini makin menguat dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam. Motornya dari kelompok pengajian Paramadina (pimpinan alm Nurcholis Madjid), beberapa cendekiawan Islam UIN Jakarta, dan munculnya LSM Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dipelopori oleh Ulil Abshar Abdalla (Direktur Freedom Institute dari generasi muda NU), juga Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), dan beberapa kelompok liberal lainnya.<br /><br />Intinya, pandangan mereka terhadap agama, Al-Quran, dan eksistensi Tuhan sangat inklusif dan berpaham liberal. Kelompok “pembaharu” ini menganut teologi Pluralis, sebuah teologi yang didasarkan pada kemajemukan paham sebagai sebuah kebenaran. Mereka menganggap semua agama benar. Dalam masalah ketuhanan, kelompok ini berusaha mereduksi makna eksistensi dan keabsolutan Tuhan. Kelompok inilah yang disebut sebagai Islam Inklusif, atau Islam Rasionalis.<br /><br />Bukan hanya itu. Pemikir NU sendiri pun menyuarakan kritik terhadap paradigma Asy’ariyyah. Serangan yang cukup gencar dilakukan oleh said Agil Siradj, Masdar Farid Mas’udi, Zuhairi Misrawi dari tokoh kritis NU. Mereka mengkritik keras terhadap warisan doktrinal Ahlussunah Waljama’ah di lingkungan NU yang banyak dipengaruhi doktrin teologi Asy’ariyyah. <span id="fullpost"><br /><br />Dikatakan bahwa teologi Asy’ariyyah telah lama membawa umat Islam ke dalam kondisi yang statis dan beku dari kemajuan modernitas. Mereka juga mengatakan dampak dari teologi Asy’ariyyah itu membawa kecenderungan umat Islam pada prostatus quo, pro-establisment, dan cenderung menghindari kritik terhadap penguasa.<br /><br />Muncul dugaan, kritik Agil Siradj banyak diilhami oleh tulisan-tulisan Al-Jabiri, seorang filsuf Mesir kelahiran Maroko yang terkenal dengan “kritik nalar arab”-nya.<br />Kritik Al-Jabiri terhadap teologi klasik seperti madzhab Asy’ariyyah sangat tampak pada komentarnya bahwa teologi yang dianggap paling fundamental dalam tradisi Islam ini harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar modernitas. Untuk itu, ia mengajukan neo-kalam (ilmu kalam baru).<br /><br />Ilmu kalam baru itu tak hanya mengajarkan doktrinal sebagaimana yang pernah dipahami Al-Asy’ari, Baqillani dan Al-Ghazali. Ilmu itu lebih merupakan revolusi ideologis untuk melawan kebekuan pemikiran Islam klasik.<br /><br />Dari sini, dapat dipahami mengapa Nuruddin Ar-Raniri terusik untuk menerjemahkan kitab dari bahasa Arab ke dalam bahasa melayu. Terjemahan ini dimaksudkan untuk memberikan jawaban kepada umat Islam tentang pemikiran ilmu kalamnya Abu Hasan Al-Asy’ari.<br /><br />Ar-Raniri, ulama Aceh, menganggap betapa pentingnya kitab semacam itu menjadi bacaan umat Islam. Sehingga ia merasa perlu menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Terjemahannya kemudian diberi judul Durrat Al-Fara’id bi Syarh al-Aqa’id.<br /><br />Kajian kitab tersebut bertumpu pada diskusi panjang antara Asy’ariyyah (ortodoks) dan Mu’tazilah (kaum rasionalis) tentang pokok-pokok ushuluddin. Diantaranya ada lima pokok bahasan, yaitu hubungan akal dan wahyu, kehendak bebas perbuatan manusia (free will), antara kekuasaan Allah (taqdir) dan usaha perbuatan manusia, sifat-sifat Tuhan Allah, dan keadilan Tuhan Allah.<br /><br />Karena itulah kitab Durrat Al-Fara’id bi Syarh al-Aqa’id dirasa penting diteliti karena bagian dari sastra Pesantren yang sangat berpengaruh pada masa depan Islam.<br /><br />Dalam buku Dekonstruksi Sastra Pesantren, Muhammad Abdullah tak hanya menulis tentang kajian kritisnya terhadap karya Ar-Raniri. Ia juga mencoba meneliti ulang kitab Sifa’Al-Qulub yang pernah diteliti oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze. Dan ia menemukan beberapa kesalahan fatal dari penelitian Nieuwenhuijze.<br /><br />Selain itu, ada juga penelitian tentang Wirid, Hizib, dan Wifiq yang menjadi bagian penting dalam sastra pesantren. Dan juga ada kajian tentang sastra Lisan pesantren di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.<br /><br />Dalam sejarah intelektual Indonesia, pesantren merupakan basis pengajaran Islam tradisional yang berakar dari kitab-kitab Islam klasik. Dari pesantren itulah dapat diketahui sistem pengajaran yang didasarkan pada sumber-sumber tertulis berupa naskah-naskah klasik maupun kitab klasik terbitan Timur Tengah yang merupakan karya ulama salaf. Kitab-kitab jenis inilah yang dalam sastra Melayu dan tradisi pesantren dikenal sebagai sastra kitab, atau secara khas disebut kitab kuning.<br /><br />Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah definisi sastra pesantren hanya terbatas kepada karya-karya yang bersumber pada kitab, yang notabene berbahasa arab. Bagaimana dengan karya-karya yang dihasilkan oleh santri lokal, yang tidak menggunakan bahasa Arab. Apakah ini juga bisa dikatagorikan sebagai sastra pesantren. Dan termasuk juga, munculnya karya sastra pesantren belakangan ini, yang banyak ditulis oleh santri muda, yang masuk dalam arus sastra Populer, seperti yang dimotori oleh Komunitas Matapena, asuhan LKiS Yogyakarta?<br /><br />Selain itu juga, dari sisi pengarang, apakah sastra pesantren harus dilahirkan oleh santri. Dan apakah yang disebut sastra pesantren adalah karya sastra yang bercerita tentang tema pesantren, yang menggunakan latar pesantren?<br /><br />Beragam pertanyaan di atas tidak terjawab dalam buku yang merupakan hasil disertasi program doktor dosen Jurusan Sastra Indoensia Undip itu.<br /><br />Namun demikian, meski tidak menjawab permasalahan sastra pesantren secara faktual, buku ini dengan baik mampu mengurai akar kemunculan sastra pesantren di Indonesia. Setidaknya ini bisa menjadi pijakan awal bagi mereka yang hendak memahami sastra pesantren secara mendalam.<br /><br />Membaca buku ini, kita akan dibukakan kepada kearifan para pemikir islam yang tumbuh di kalangan pesantren. Bukan seperti citra yang muncul belakangan, pesantren sebagai basis gerakan islam fundamental yang sarat dengan terorisme. Dan akhirnya, kontribusi para pemikir pesantren dalam perkembangan sastra dan khasanah pemikiran intelektual Indonesia tak bisa dinafikan lagi. </span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-18368535299819243322008-02-04T01:08:00.000-08:002008-02-04T01:12:01.882-08:00Cerita PagiSobat,<br />Ragamu penuh luka<br />Rasamu penuh lara<br />Matamu berkaca-kaca<br />Apa yang kau sesalkan, apa yang kau bahagiakan tetap terasa hampa<br /><br />Bukan,<br />Aku tidak berkata bahwa dukamu adalah dukamu, sukamu is sukamu<br />Dengarkanlah, dan kau akan semakin mengerti <br /><br />Kau duduk merenung, mengucap kisah tak ada ujung<br />Lalu,<br />Kau kembali menyapa warna dalam hitam putihmu<br />Tidakkah kau mengerti<br /><br />Tataplah langit saat hujan mulai reda<br />Ya <br />Pesona pelangi akan membawamu pada sebuah teka teki<br />Hidup, bahagia, derita <span id="fullpost"><br /><br />Aku mendengarmu<br />Aku merasamu<br /><br />Namun, <br />Keindahan yang kau cari tetap melakat pada pucuk jari lentikmu.<br /><br />Dan kau tahu itu!!!<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />*Puisi ini saya dedikasikan untuk sobat kecilku yang selalu bermimpi tentang negeri di atas awan, SA.<br /><br />*Dan untuk sobat-sobat saya yang menyatu dalam hati, ‘selalu ada keajaiban, maka bangun dan berlarilah….’ </span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-81922073475778841102008-02-04T00:34:00.002-08:002008-02-04T00:52:46.795-08:00Geliat Energi Positif; Habis Gelap Cepatlah TerangKeterpurukan itu mulai muncul sepuluh tahun belakangan. Entah apa yang menyebabkan derita berlama-lama menghampiri negeri ini. Yang pasti, kejadian-kejadian buruk beruntun seolah tak mau berhenti, semenjak gonjang ganjing reformasi 1998 lalu. Dari gejala sosial hingga gejala alam. Dari isu perikemanusiaan hingga melangkanya flora fauna akibat ulah manusia.<br /><br />Coba kita tengok sebentar apa yang terjadi antara tahun 1998 hingga sekarang. Orde baru runtuh yang secara otomatis tampuk kepemimpinan rezim berkuasa harus diganti. Perebutan kekuasaan mulai terjadi, anarkisme tak terelakkan. Yang menjadi pemandangan miris saat itu adalah perilaku masyarakat yang diliputi emosi. Pertikaian di mana-mana, penjarahan merajalela.<br /><br />Krisis ekonomi yang kala itu menjadi isu hangat dunia pun ikut menghantam Indonesia. Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok tak terelakkan. Masyarakat semakin tercekik. Indonesia yang tinggal selangkah dinobatkan menjadi negara maju oleh dunia Internasional, kembali jatuh menjadi negara miskin. Macan Asia itu menjadi ompong. <br /><br />Keadaan ini semakin buruk ketika banyak pemberontakan di daerah-daerah yang menyuarakan disintegrasi. Ketidakpuasan pemerataan ekonomi menjadi penyebabnya. Pemerintah pusat hanya mengeruk tanpa membangun.<br /><br />Penderitaan belum berakhir. Seolah tak ingin ketinggalan, alam mulai menampakkan kebengisannya. Bencana ikut meramaikan tahun-tahun kelam. Tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatra Utara, banjir yang hampir tiap tahun melanda ibukota Jakarta dan banyak kota lain di Indonesia, gempa Jateng dan DIY, bencana Lumpur Lapindo, hingga permasalahan rusaknya hutan di Indonesia.<span id="fullpost"><br /><br />Banyaknya permasalahan yang melanda Indonesia,tentu pemerintah tak tinggal diam. Banyak hal dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Di antaranya mencegah disintegrasi meskipun satu provinsi telah lepas, Timor Timur. Selain kehilangan provinsi termuda itu, Indonesia juga kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan, dan beberapa pulau kecil Indonesia yang telah diprivatisasi. Hilang pulau, hilang pula Badan Usaha Milik Negara. Beberapa perusahan pemerintah dijual untuk memperbaiki ekonomi Indonesia. Namun, hasilnya bisa dilihat sekarang. Indonesia belum bisa bangkit, rakyat masih belum sejahtera.<br /><br /><br />Sadar kreasi<br /><br />Untuk membangkitkan ekonomi rakyat, perlu kesadaran semua pihak, tak terkecuali rakyat itu sendiri. Hal inilah yang akhir-akhir ini banyak dibidik televisi nasional. Beberapa media mencoba menawarkan acara-acara inspirarif yang bagi saya sendiri cukup menarik. Bad news is a good news tak lagi menjadi satu-satunya jargon media sebagai dalih ‘menuju perbaikan’. Berita-berita bagus (good news) perlu ditayangkan untuk membangkitkan positivisme rakyat. Dampak paling kecil yang bisa diharapkan adalah kekreatifan masyarakat sendiri untuk meningkatkan perekonomian masing-masing.<br /><br />Satu contoh menarik yang pernah ditayangkan salah satu televisi swasta nasional adalah liputan tentang seorang ibu muda di Solo yang berusia sekitar 35 tahun. Bermodal bisa menjahit, ia mengumpulkan sampah-sampah plastik limbah keluarga seperti plastik deterjen, pewangi, dan berbagai sampah plastik lainnya yang kemudian disulap menjadi tas-tas cantik yang layak jual. Hal yang tak jauh beda mungkin banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia di luar sana. Dengan maraknya tayangan-tanyangan inspiratif seperti itu, semoga pertelevisian Indonesia bisa turut andil membangun Indonesia sejahtera. Pasalnya, selama ini pengaruh televisi masih menjadi hipnotis yang paling kuat untuk masyarakat, terlebih untuk kalangan menengah ke bawah.<br /><br />Sadar kreasi juga ditunjukkan sebagian kecil televisi Indonesia untuk program-program unggulannya.<br />Beberapa di antaranya mengangkat budaya seperti ‘Ngelenong Nyok!’ yang di samping bisa menjadi tontonan yang menghibur, acara semacam itu juga bisa berdampak untuk kelestarian budaya, dan jika dikembangkan tentu bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai aset budaya yang layak dipromosikan dalam program pemerintah, Visit Indonesia 2008. Selain itu, yang bagi saya sendiri menarik dan kreatif adalah segmen Sinden Gosip dalam extravaganza. Perpaduan Sinden yang eksotik dan gosip yang modern menjadi hal yang unik dan menghibur. Apalagi dengan tamu-tamu Neng Tike (sinden) dari seluruh pelosok nusantara, seolah menegaskan kembali slogan Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini telah menghilang. Kebersamaan yang ada di Sinden Gosip menegaskan indahnya kebersamaan yang selama ini seolah raib entah ke mana.<br /><br /><br />Sadar kinerja<br />Kamis, 27 Desember 2007 sekitar pukul sepuluh pagi. Sebuah mobil yang bertulis “melayani pembuatan SIM” mangkal di pojok Simpang Lima. Saya tercengang. Sesaat kemudian, saya teringat dengan pemberitaan di sebuah televisi nasional tentang pelayanan pembuatan SIM di kota Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur tersebut, pelayanan pembuatan SIM lebih dipermudah lagi. Pos pelayanan pembuatan SIM terdapat di mal-mal kota itu. Selain itu penetapan harganya juga relatif lebih murah, yaitu Rp 85.000,00. Kenapa saya katakan murah? Sekitar pertengahan tahun 2007, saya membuat SIM di kota Jepara. Kocek yang perlu saya keluarkan saat itu sebesar Rp 200.000,00. Perbedaannya lebih dari 50%.<br /><br />Tak hanya instansi kepolisian yang memperlihatkan selangkah lebih baik bagi pelayanan kepada masyarakat. Mobil layanan keliling juga dikeluarkan oleh PLN Semarang. Ini tentu berkait dengan kemudahan layanan juga. Beberapa instansi lain, bisa dilihat di televisi. Seperti dinas pajak dengan program-programnya yang banyak disosialisasikan di televisi, dinas pendidikan yang bekerja sama dengan pihak televisi swasta dengan membuat talkshow, dan yang paling hangat adalah program Visit Indonesia oleh dinas kebudayaan. Meskipun masih banyak kekurangan, dengan awal yang baik ini, semoga semakin banyak kepedulian semua pihak khususnya pemerintah untuk menjadikan Indonesia semakin terdepan. Bukan soal korupsi, pembalakan liar, hobi impornya, atau memburu barang-barang bekas luar negeri. <br /><br /><br />Sadar Lingkungan<br /><br />Tak ada yang bisa memprediksi kapan bencana akan datang, begitu pula krisis sosial. Yang bisa dilakukan adalah merevitalisasi keadaan. Bertindak sesuai kemampuan, mulai sekarang. Seperti yang dilakukan oleh warga dan berbagai komunitas pemerhati budaya Yogyakarta untuk menyelamatkan bangunan kuno yang hancur pascagempa. Jogja Heritage Society mencatat, dari 150 rumah Joglo yang ada, 88 mengalami kerusakan. Ada 8 bangunan yang ambruk, 47 rusak berat, 16 rusak sebagian, dan 17 rusak-rusak. Pemilik rumah yang kebanyakan berprofesi abdi dalem dan perajin perak tentu merasa berat untuk membangun kembali Joglo yang biaya restorasinya bisa mencapai Rp 150 – 450 juta. Atas prakarsa Pusaka Yogya Bangkit untuk mencari orang tua asuh untuk perbaikan kembali joglo-joglo yang mengalami kerusakan, beberapa rumah joglo bi kampong Kudusan, Jagalan, Kota Gede kembali berdiri kokoh.<br /><br />Sebagai langkah preventif, Tri Rismaharini bisa menjadi contoh. “Saya selalu panik kalau ada angin kencang, khawatir pohon di jalanan pada roboh,” kata Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota Surabaya kepada Tempo. Kekhawatiran Tri Risma tentu beralasan. Kerusakan lingkungan Indonesia yang semakin parah menyebabkan alam mulai tak ramah. Puting beliung, banjir, tanah longsor, gempa bumi, hampir tiap saat menghiasi layar kaca, menjadi headline media. Untuk mengantisipasi hal itu, Tri Risma menghijaukan Surabaya. Jalan-jalan protokol Surabaya ditanaminya aneka jenis tanaman dari kebun bibit wonorejo. Sebanyak 300 pegawainya dikerahkan.<br /><br />Selain menyulap Taman Bungkul yang dulu kumuh menjadi tempat yang nyaman untuk bersantai, ia juga berencana akan mengubah area seluas delapan hektare di kecamatan Lakarsari dan Taman Flora di kawasan Bratang menjadi hutan kota dan pusat flora.<br /><br />Geliat energi positif yang semakin nampak di berbagai bidang, diharapkan lebih mempercepat laju peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Laiknya keoptimisan Kartini yang menyebutkan bahwa Habis Gelap Terbitlah Terang.</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-44303937797599502422008-02-03T23:50:00.000-08:002008-02-04T00:18:30.758-08:00Cak Nun: Macan Berlaku Tikus(Seputar Indonesia, 12 Januari 2008)<br /><br />Apa komentar Anda jika seorang Cak Nun mengatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Saya secara spontan akan mengatakan ‘Ya’. Kenapa? Sejak kecil, semenjak belajar di sekolah dasar sekitar tahun 90-an awal, kata-kata itu sering saya dengar dari guru-guru saya. Sampai sekarang dan sampai kapan pun saya yakin masih tetap melekat dan tak akan luntur.<br /><br />Bukan omong kosong meskipun dulu yang saya pahami, besarnnya Indonesia adalah besarnya tanah air dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Hutan, tambang, hasil kelautan, dan dari kesuburan tanah hingga apapun yang ditanam pasti bisa tumbuh dan menghasilkan. <br /><br />Kebesaran Indonesia yang saya tahu juga berkat kebesaran nama Soekarno yang membawa Indonesia bisa dipandang di tingkat dunia. Lalu, setelah semuanya hilang, masihkah Indonesia menjadi negara yang besar?<br />Saya sadar, pemikiran saya terlalu cupet dalam memandang makna “besar” Indonesia?<br /><br />Dan saya masuk dalam jajaran pemalas seperti yang diungkapkan Cak Nun dalam esainya, 12 Januari 2008 di Koran Seputar Indonesia (Sindo). Daripada mikir jauh ke belakang, mending dolan ke mal dan creambath di salon atau main gaple. Akhirnya kita tidak mengerti macan kita sehingga berlaku sebagai tikus. Kita selalu bilang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar: ternyata itu omong kosong dan bohong mlompong. Pernyataan bahwa kita adalah bangsa besar bukan pernyataan ilmiah, bukan pernyataan sejarah, bukan pernyataan spirit, bukan pernyataan kesadaran.<br /><br />Lalu, Anda akan sedikit mengerti ‘Kebesaran Indonesia’ jika membaca tulisan Emha Ainun Najdib di dalam esainya dengan judul “Macan Berlaku Tikus”. <span id="fullpost"><br /><br />Esai itu konvensional, sebuah tulisan yang berisikan tentang bagaimana manusia Indonesia bersikap atas bangsanya sendiri. Tentu setelah mengerti dan mencoba memahami karekteristik manusia-manusia di dalamnya. Meski tulisan tersebut cukup biasa, namun bagi saya, sanggup memacu otak untuk berpikir dan merenung sejenak melihat apa yang sedang terjadi. Bagi saya esai ini menarik. Inspiratif. <br /><br />Malu, kata Cak Nun, kalau bangsa ini nantinya hanya sepadan dengan Bush, Howard, atau malah kepada dua orang itu saja takut. <br /><br />Malu, katanya pula, hanya karena klenik kebatinan khayalan yang bernama Rambo saja takut dan takluk. Hanya beberapa film saja mosok sudah cukup untuk dipakai mencuci otak ratusan juta manusia yang aslinya macan, sehingga berubah menjadi tikus. Menjadi bangsa yang kerdil, yang tidak percaya diri, pesimis, hingga mimpipun harus “impor” dari Hongkong, Macau, ataupun Hollywood. Kurang berani berpikir sendiri, sapere aude. <br /><br />Sedangkan di sisi lain, penjual-penjual mimpi seperti parpol, yang melahirkan pemimpin besar, kurang memberi angin segar untuk bangsa. Kebanyakan dari mereka hanya berpikir menang meraih kursi kepresidenan<br /><br />Jadi apapun parpol yang membangun diri, siapapun tokoh yang muncul,mbok ya punya cita-cita besar bertingkat dunia. Pahami bangsamu dengan seksama seluruh seginya luar dalam esok dan masa silamnya, dari situ kita gali cita-cita mendunia. Indonesia bisa menjadi mercusuar dunia. Indonesia menjadi pusat dunia. Indonesia menjadi Ibukota Dunia, sesudah Indonesia menemukan Ibukota sejatinya dan pindah dari Jakarta ke situ. <br /><br />Pemimpin besar harus berpandangan futuristik. Berpikir bagaimana membangun bangsa tanpa harus menggantungkan diri pada negara lain. Bagaimana mendapatkan dana tanpa harus menjual aset-aset penting negara yang seyogyanya untuk kepentingan rakyat. <br />.<br /><br />Bahkan tidak mustahil pemimpin Indonesia mampu lebih tajam dari De Gaull, lebih futurologis dari Lincoln, bahkan ada ratusan ribu pemimpin dunia yang bisa menjadi adrenalin dan aliran darah hangat seorang pemimpin baru Indonesia.<br /><br />Tuhan pernah berkata jika tidak salah bunyinya seperti ini: Ud’uni Astajib Lakum; mintalah kepadaKu niscaya Aku akan mengabulkannya untukMu. Jadi mulailah bermimpi besar dan Anda akan menjadi “besar”. Andrea Hirata sudah membuktikannya, pengalamannya bisa dibaca dalam karya tetraloginya, Effendi Ghozali sudah memberi motivator dengan News.com-nya yang selangkah lebih maju, tak hanya berani bermimpi; “jangan hanya bisa mimpi, mulailah bergerak”. Dan Cak Nun melahirkan tulisan ini, menjadi motivator saya untuk bergerak.<br /><br />Cak, mimpimu bukan hanya utopia dan omomg kosong. Tulisanmu tak akan sia-sia. Akan ada ribuan penelitian yang lahir bahkan ribuan buku akan terbit dari sejengkal tulisanmu di Koran tersebut. Salah satunya adalah tulisan ecek-ecekku yang mungkin tidak banyak berpengaruh untuk bangsa, namun mimpimu adalah mimpiku. Secercah harapan pasti akan lahir.</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-59809988955304679092007-07-30T01:22:00.000-07:002008-02-04T00:22:41.119-08:00Pandanglah Bintang TimurPandanglah bintang timur, dan kau akan tahu<br />Ada seberkas sinar yang membawamu pada senyum<br />Lorong-lorong waktu terasa tak berarti<br />Dan kau akan merasa bahwa sayap malaikat tiba-tiba datang pada tubuh lelahmu<br /><br />Apa yang kau tanya,<br />Tentu tak sepatahpun kata yang bisa kau tuturkan pada-Ku<br />Getar-getar halus akan tampak pada tangan<br />Dan kau speechless<span id="fullpost"><br /><br />Sudahkah semakin mengerti,<br />Bila tidak, katakan tidak<br />Dan akan Kuberikan banyak lagi<br />Lalu kau akan tahu simbol keindahan yang sempurna</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-73968105260251190242007-07-30T01:13:00.000-07:002008-02-04T00:21:02.524-08:00Jiwa-jiwa Penuh LukaLalu mereka berdiri menatap sekat-sekat dibalik bukit cahaya<br />Cakrawala begitu jauh hingga tangan-tangan tak mampu meraihnya<br />Berdiri membisu tanpa gerak tanpa ekspresi<br />Jiwa-jiwa penuh luka<span id="fullpost"><br /><br />Lalu mereka tetap berdiri, termangu, penuh dengan aroma masa lalu<br />Hilir mudik angin menyibak rambut-rambut yang kering<br />Bibir-bibir yang pecah<br />Jiwa-jiwa penuh luka<br /><br />Tak ada asa tak ada rasa<br />Tak ada ingin tak ada akan<br />Jiwa-jiwa penuh luka</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-37974995703614905082007-07-10T23:16:00.000-07:002007-07-18T01:18:34.785-07:00Menjual Sejarah PribadiAku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintetis persis di depan mataku, indah tak terperi.<br />Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, “Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?”<br />Ia menatapku, lalu menjawab.<br />“Sure lof, it’s Edensor....”.<br /><br />Penutup yang cantik untuk Edensor; sebuah karya yang mengandung mimpi-mimpi. Mungkin itulah temuan terbesar dan terindah bagi Ikal karena di sana ada kesejatian cinta. Cinta Ikal pada A Ling.<br /><br />Namun sayang beribu sayang, keindahan itu tak bisa dilekatkan Andrea pada keutuhan karya. Ketika membaca Laskar Pelangi misalnya, meskipun dalam kebahasaan Andrea terlihat payah, namun hal itu tertutupi oleh cerita yang menarik. Atau mungkin bisa dibilang penceritaan yang menarik. Ia menghidupkan suasana dan tokoh. Lintang sangat hidup, begitu juga Mahar. Ia mendeskripsikan sekolah Muhammadiyah yang mengenaskan dengan detail.<span id="fullpost"><br />Sedangkan Sang Pemimpi, Andrea menulisnya lebih bagus. Keunggulan karya yang kedua ini selain kebahasaan lebih baik dan juga detail, yang terpenting adalah peramuan karya dengan joke. Ini yang jarang dimiliki kebanyakan pengarang. Karena joke itulah, Sang Pemimpi menjadi karya yang beda; ringan, enak dibaca, dan menyenangkan. Dan satu lagi yang tak bisa dilepaskan dari Andrea, semangat bermimpinya. Karya yang Inspiratif.<br /><br />Edensor, karya ketiga dari tetraloginya, masih sama seperti karya-karya sebelumnya yang bermain dengan “mimpi”. Dari segi kebahasaan lumayan bagus, namun dari segi lain sangat kurang kalau tidak mau dikatakan buruk. Ada pemaksaan-pemaksaan di sana.<br /><br />Pemaksaan pertama, pemborosan bab. Selanjutnya saya ganti dengan mozaik karena Andrea menggunakan kata itu untuk penyebutan bab. Dari mozaik 1, “Laki-laki Zenit dan Nadir”; hingga mozaik 8, “Wawancara”, saya tak bisa melihat maksud Andrea dengan ceritanya itu. Yang saya tangkap justru curahan hati dan kenarsisannya.<br /><br />“Laki-laki Zenit dan Nadir”. Di situ diceritakan bahwa Weh adalah lelaki yang gagah dan cerdas. Namun karena ketidakmujuran nasib, ia menjadi lelaki yang kurang beruntung. Ia terkena burut, penyakit yang disebabkan karena isi perut (usus) turun dan biasanya kantong kemaluan menjadi besar (KBBI). Karena itu, ia mengucilkan diri dari kehidupan sosial. Siapa Weh? Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu. Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku (hal: 3).<br /><br />Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah belajar mencintai ibuku dari orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri (hal: 12). Weh tidak lebih dari salah satu orang yang berharga bagi Andrea sendiri, karena itu, ia memasukkannya dalam cerita. Sebagai ucapan terimakasih. Weh bukan tokoh penting. Jika dianalogikan dalam sinetron Indonesia, ia adalah tokoh yang dimunculkan ketika sinetron sudah mulai diperpanjang karena rating yang cukup bagus.<br /><br />Lalu, “Juru Pendamai”, “Pengembara Samia”, “Partner in Crime”, dan “Rahasia Gravitasi” (mozaik 3-6) menceritakan tentang masa kecil Ikal yang nakal. Ini masuk dalam alur perulangan. Andrea kecil sudah dimunculkan dalam Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Meski saya katakan memang beda karena cerita dalam Edensor ini adalah cerita masa kecil Ikal yang belum diceritakan pada novel-novel sebelumnya. Namun, seberapa penting cerita tersebut memengaruhi alur dan isi cerita? Membuyarkan. Ia membuat pembaca tidak nyaman.<br /><br />Edensor ditunggu karena pembaca ingin mengetahui kelanjutan nasib Ikal dan Arai di luar negeri. Mereka tidak membutuhkan cerita masa kecil Ikal lagi. Inilah kenarsisan Andrea. Ia ingin banyak membuka sejarah hidupnya. Apa yang salah?<br /><br />Ok, ini sebuah novel (memoar) yang sebenarnya tak masalah bila ingin menciptakan karya sekehendak hatinya, karena ia “sang tuhan”. Tapi ketika terlalu mengeksplor dirinya, tampak sekali tujuan utamanya yang sudah mulai membelok. Ia yang katanya ingin membuat karya yang mencerahkan, sudah mulai melupakan niat itu.<br /><br />Kehadiran Weh dalam mozaik itu, dan beberapa mozaik setelahnya, hanya berfungsi mempertebal halaman. Atau mungkin, seperti yang saya katakan tadi, sebagai bentuk kenarsisan Andrea dan rasa terimakasihnya pada seseorang.<br /><br />Ada 13 gambar dalam novel. Di antaranya gambar ikal yang dibonceng ayahnya, komidi putar, kartu wesel dan beberapa gambar lain. Semoga itu bukan bagian dari niat mempertebal halaman, namun sisi kreatif dari tim kreatif yang ingin memunculkan keindahan dalam novel. Keindahan versi mereka. Dan saya harap itu bukan bagian pemaksaan yang kedua.<br /><br />Kelemahan lain Edensor adalah mozaik-mozaik pendek. Dalam Partner in Crime misalnya, hanya terdiri tiga halaman. Satu setengah halaman subbab pertama, dan satu setengah halaman subbab kedua. Subbab pertama terdiri dari tiga paragraf, paragraf yang berisi keindahan alam Belitong menjelang malam, kemudian paragraf tentang masjid, dan paragraf ketiga baru menceritakan keluarga Ikal yang memungut Arai. Arailah Partner in Crime itu. Subbab kedua kembali menceritakan keadaan ayahnya yang pusing memikirkan penggantian nama Ikal. Satu mozaik dengan beberapa cerita. Tidak fokus.<br /><br />Mozaik seperti itu sebenarnya memperingan pembaca dalam menikmatinya. Namun titik kelemahan di dalamnya adalah ketidakdetailan sehingga pembaca kurang nyaman. Pembaca tidak bisa masuk dalam ruang penceritaan. Serasa seperti terpotong-potong.<br /><br />Edensor, tetap punya hal menarik untuk dilahap. Pengetahuan baru tentang kebudayaan baru dengan orang-orang baru. Ya, budaya negara-negara Eropa dan beberapa Afrika yang mungkin asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Ini berkat tulisan Andrea dengan petualang-petualangannya yang menakjubkan.<br /><br />Bagi saya, membaca Edensor serasa membaca laporan perjalanan Andrea. Saya kurang bisa menikmatinya. Edensor tidak senyastra Sang Pemimpi. Silakan buktikan!</span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-56578967036158424352007-07-10T00:37:00.000-07:002008-12-10T14:53:31.634-08:00Metamorfosis Ikal dalam Karya Andrea 1 & 2<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5Sm4Ta_hFJeVcmHG_6ULYtg3B2DBltjH8T0hlFAHlI1jM8yB556o6YJ9YL43b353kc5UgRHw2pHWFcchO8SFPsAhO6eombNJ2minb211bC4Yd5nZXzHYclX0kOkJk87nUHi3KsMb7ncw/s1600-h/buku.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5Sm4Ta_hFJeVcmHG_6ULYtg3B2DBltjH8T0hlFAHlI1jM8yB556o6YJ9YL43b353kc5UgRHw2pHWFcchO8SFPsAhO6eombNJ2minb211bC4Yd5nZXzHYclX0kOkJk87nUHi3KsMb7ncw/s200/buku.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5085469857297034226" border="0" /></a>Setelah membaca laskar pelangi, yang saya rasakan adalah sebuah emosi jiwa. Ya, saya merasa masuk dalam ruang penceritaan. Saya hanyut di dalamnya. Saya ingin mengetahui bagaimana nasib tokoh-tokoh itu terutama Lintang dan Mahar. Kemudian saya lanjutkan dengan pembacaan novel sang Pemimpi, yang kata Andrea lanjutan dari kisah Laskar Pelangi.<br /><br />Saya sedikit kecewa karena yang saya temukan orang lain. Bukan mereka yang membuat diri saya bergejolak ingin tahu. Lalu setelah itu, saya sadar bahwa Lintang dan Mahar sudah berakhir dengan ditutupnya lembar terakhir Laskar Pelangi.<span id="fullpost">Lintang menjadi seorang supir sedangkan Mahar sedikit lebih beruntung, menjadi seorang budayawan lokal. Hasrat keingintahuan saya sebenarnya tidak terpuaskan. Tapi apalah daya, informasi yang diberikan penulis hanya sekadar itu, ala kadarnya.<br /><br />Karya pertama dan kedua Andrea bagi saya bukan sepenuhnya Dwilogi. Alasannya simpel saja. Ikal yang ada pada karya pertama bukanlah Ikal yang ada pada tokoh kedua. Ikal dalam karya pertama hanya seorang tokoh yang keberadaannya tidak terlalu penting. Ada tiadanya Ikal takkan mengganggu isi cerita. Mungkin alasan tersebut bisa dipatahkan dengan argumen seperti ini. “Jika tidak ada ikal, tidak akan ada sang juru cerita yang akan mengantarkan sejarah laskar pelangi dalam sebuah memoar.” Benar. Hanya saja sang juru cerita bisa diganti orang lain.<br /><br />Namun masalah yang kemudian muncul adalah karena ini memoar, sebuah kisah nyata. Jadi, Ikal tetap saja Ikal yang keberadaannya tidak bisa digantikan orang lain. Mungkin diantara kesebelas orang itu yang punya inisiatif atau obsesi menulis hanyalah seorang Ikal (Andrea Hirata Seman).<br /><br />Alasan lain. Ikal dalam novel pertama tidak digambarkan berkarakteristik kuat sebagai tokoh yang menjual. Sebenarnya siapa tokoh yang ingin dimemoarkan? Tentu Ikal. Kenapa orang yang seharusnya menjadi tokoh utama seolah-olah tidak tampak. Ia tidak meresap di hati pembaca. Dalam novel itu, Ikal hanya seorang bocah yang memunyai sepuluh orang teman yang aneh-aneh. Ia seorang tokoh yang kurang mendapat simpati pembaca. Bukankah tokoh utama biasanya merebut hati pembaca?<br /><br />Kemudian wajar jika pembaca Laskar Pelangi lebih mempertanyakan kondisi Lintang saat ini, atau Mahar barangkali daripada Ikal. Bukan karena keberadaan Ikal yang memang sudah diketahui. Tapi karena Lintang dan Mahar digambarkan lebih hidup daripada yang lain.<br /><br />Selanjutnya, dalam sang Pemimpi, tiba-tiba Ikal ada secara penuh. Hanya dia satu-satunya tokoh dalam laskar pelangi yang diADAkan kembali. “Siapa Ikal yang berani-beraninya muncul di karya Andrea yang kedua?”. Dialah tokoh utama itu. Tanpa Ikal, sang Andrea sendiri, takkan ada Laskar Pelangi, sang Pemimpi, kemudian Edensor, dan Maryamah Karpov.<br /><br />Dalam karya keduanya, Andrea memunculkan karakteristik tokoh Ikal yang harus dilihat. Ikal orang yang pandai, pekerja keras, dan sedikit nakal karena keremajaannya. Ia bukan lagi orang yang ikut ke sana ke mari tidak jelas seperti yang ada dalam Laskar Pelangi. Ialah tokoh sebenarnya tokoh.<br /><br />Karya kedua Andrea memang berbeda. Awalnya saya menganggap bahwa Andrea dan Laskar Pelanginya tak lebih hanya mendapat durian runtuh. Jika tidak punya Lintang, Mahar, dan sekolah mengenaskan yang bersanding dengan lingkungan elit PN Timah, ia tidak bakal seberuntung sekarang. Ia punya modal awal cerita yang menarik. Di samping itu, ia juga tiba-tiba muncul saat masyarakat mulai bosan dengan keberadaan chikleet tenleet.<br /><br />Saya menyukai Laskar Pelangi karena substansi ceritanya yang menyentuh sisi kemanusiaan. Sebuah kehidupan yang serasa tidak nyata. Saya tidak melihat ada kelebihan lain dalam novel tersebut kecuali ceritanya itu sendiri.<br /><br />Namun setelah membaca sang pemimpi, saya mulai berpikir ulang. Saya sadar ada kepiawaian di sana. Jika tidak ditulis oleh jari yang lentur, pikiran seorang yang imajinatif; cerita Ikal, Arai dan Jimbron, hanya akan berakhir pada keranjang sampah. Namun, Andrea membuktikan itu. Cerita yang biasa bakal jadi luar biasa bila diramu dengan baik. Mungkin begitu juga dalam laskar pelangi.<br /><br />Andrea dan budayanya<br /><br />Ada pujian yang berlebihan pada Andrea. Ia bukan dari lingkungan sastra namun dapat membuat novel best seller. Tak hanya karya pertamanya, namun juga karya yang kedua.<br /><br />Berbicara mengenai best seller, banyak novelis muda Indonesia yang bukan dari lingkungan sastra tapi karyanya terjual laris manis. Sebaliknya, tidak mudah menemukan karya yang dibuat oleh kalangan sastra yang dapat diterima masyarakat luas.<br /><br />Best seller tidaknya karya tidak hanya ditentukan hanya dari novelnya itu sendiri. Banyak kalangan yang berjasa. Di sini bisnis pun bermain. Dengan sedikit taktik karya bisa menjadi fenomenal. Misalnya saja dengan promosi besar-besar di media, launching dengan mengundang artis, atau bisa juga mencari komentator untuk ombustment.<br /><br />Sedangkan dalam novel Andrea, saya lihat murni dari karya. Kelihaian bercerita menjadi kunci kesuksesannya. Kelihaian itu tak serta merta turun dari langit. Lingkungan dan budayanya sangat berpengaruh.<br /><br />Ia orang Belitong, berdarah Melayu. Coba tengok ke belakang. Masyarakat tentu tidak awam dengan sastrawan Melayu seperti HAMKA, Marah Roesli, Muchtar Loebis, Iwan Simatupang dll. Jadi wajar jika Andrea pun seperti itu. Orang melayu terkenal pintar bercerita.<br /><br />“Pendidikan di Sumatra itu sangat berbeda dengan di Jawa. Guru di sana seperti seorang teman. Dia hanya bertugas memfasilitasi. Orang Sumatra yang sukses itu bisa sangat sukses Karena cara mendidiknya tadi. Contohnya saja Andrea,” kata Aulia Muhammad dalam diskusi “Membaca Geliat penyair muda” di Fakultas Sastra Undip. Ia seorang pemred suaramerdeka.com yang juga bergelut dalam dunia sastra. Sebagai seorang yang lahir di Sumatra, tentu ia tahu bagaimana sistem pendidikan di sana.<br /><br />Dalam Laskar pelangi maupun sang Pemimpi sebenarnya juga bisa terlihat jelas bagaimana pendidikan di sana. Tak jauh beda dengan yang dikatakan Aulia. Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea menjelaskan bagaimana cintanya ia dengan sastra. Itu tak lain karena gurunya. Sang guru mengajarkan sastra sekaligus menghipnotisnya untuk mencintai bidang itu. Ia membuat pelajaran itu penuh dengan kepesonaan. Tak hanya teori yang diajarkan tapi ia membebaskan sang murid pada imajinasi-imajinasinya sendiri. Jadi, benarkah Andrea Hirata Seman benar-benar awam dalam dunia sastra?<br /><br /></span>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-88530073670892418262007-06-27T00:42:00.000-07:002007-07-10T00:27:43.830-07:00Memungut Waktu yang Hilang<span lang="IN"><o:p></o:p></span><br /><p class="MsoNormal"><span lang="IN">Hati ini empuk, jiwa itu halus</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Dan jurang itu dalam</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN">Perlu ada pemahaman tentang ini dan itu</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Biar semua kentara dalam mata yang kasat</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Tak berakhir pula dengan entah!</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN">Jangan, tak perlu curiga</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Karena waktu akan hilang</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Ya...sia-sia.</span></p>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5632581022623782407.post-50297241999436459382007-06-27T00:41:00.000-07:002007-07-10T00:27:43.831-07:00Salam<span lang="IN"><o:p></o:p></span><span lang="IN"><br />Selamat pagi...</span> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Pagi kataku.</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN">Selamat siang...</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Siang kataku pula.</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN">Selamat malam...</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Malam.</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN">Adakah kata yang lebih cantik?</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Lirihku hanya dalam hati</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN">Suatu saat nanti kau pasti mendendangkannya dengan</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Senyum simpul malu-malumu,</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN">Harapku. </span></p>JAWAhttp://www.blogger.com/profile/14268730950584997712noreply@blogger.com0