Monday, February 4, 2008

Geliat Energi Positif; Habis Gelap Cepatlah Terang

Keterpurukan itu mulai muncul sepuluh tahun belakangan. Entah apa yang menyebabkan derita berlama-lama menghampiri negeri ini. Yang pasti, kejadian-kejadian buruk beruntun seolah tak mau berhenti, semenjak gonjang ganjing reformasi 1998 lalu. Dari gejala sosial hingga gejala alam. Dari isu perikemanusiaan hingga melangkanya flora fauna akibat ulah manusia.

Coba kita tengok sebentar apa yang terjadi antara tahun 1998 hingga sekarang. Orde baru runtuh yang secara otomatis tampuk kepemimpinan rezim berkuasa harus diganti. Perebutan kekuasaan mulai terjadi, anarkisme tak terelakkan. Yang menjadi pemandangan miris saat itu adalah perilaku masyarakat yang diliputi emosi. Pertikaian di mana-mana, penjarahan merajalela.

Krisis ekonomi yang kala itu menjadi isu hangat dunia pun ikut menghantam Indonesia. Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok tak terelakkan. Masyarakat semakin tercekik. Indonesia yang tinggal selangkah dinobatkan menjadi negara maju oleh dunia Internasional, kembali jatuh menjadi negara miskin. Macan Asia itu menjadi ompong.

Keadaan ini semakin buruk ketika banyak pemberontakan di daerah-daerah yang menyuarakan disintegrasi. Ketidakpuasan pemerataan ekonomi menjadi penyebabnya. Pemerintah pusat hanya mengeruk tanpa membangun.

Penderitaan belum berakhir. Seolah tak ingin ketinggalan, alam mulai menampakkan kebengisannya. Bencana ikut meramaikan tahun-tahun kelam. Tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatra Utara, banjir yang hampir tiap tahun melanda ibukota Jakarta dan banyak kota lain di Indonesia, gempa Jateng dan DIY, bencana Lumpur Lapindo, hingga permasalahan rusaknya hutan di Indonesia.

Banyaknya permasalahan yang melanda Indonesia,tentu pemerintah tak tinggal diam. Banyak hal dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Di antaranya mencegah disintegrasi meskipun satu provinsi telah lepas, Timor Timur. Selain kehilangan provinsi termuda itu, Indonesia juga kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan, dan beberapa pulau kecil Indonesia yang telah diprivatisasi. Hilang pulau, hilang pula Badan Usaha Milik Negara. Beberapa perusahan pemerintah dijual untuk memperbaiki ekonomi Indonesia. Namun, hasilnya bisa dilihat sekarang. Indonesia belum bisa bangkit, rakyat masih belum sejahtera.


Sadar kreasi

Untuk membangkitkan ekonomi rakyat, perlu kesadaran semua pihak, tak terkecuali rakyat itu sendiri. Hal inilah yang akhir-akhir ini banyak dibidik televisi nasional. Beberapa media mencoba menawarkan acara-acara inspirarif yang bagi saya sendiri cukup menarik. Bad news is a good news tak lagi menjadi satu-satunya jargon media sebagai dalih ‘menuju perbaikan’. Berita-berita bagus (good news) perlu ditayangkan untuk membangkitkan positivisme rakyat. Dampak paling kecil yang bisa diharapkan adalah kekreatifan masyarakat sendiri untuk meningkatkan perekonomian masing-masing.

Satu contoh menarik yang pernah ditayangkan salah satu televisi swasta nasional adalah liputan tentang seorang ibu muda di Solo yang berusia sekitar 35 tahun. Bermodal bisa menjahit, ia mengumpulkan sampah-sampah plastik limbah keluarga seperti plastik deterjen, pewangi, dan berbagai sampah plastik lainnya yang kemudian disulap menjadi tas-tas cantik yang layak jual. Hal yang tak jauh beda mungkin banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia di luar sana. Dengan maraknya tayangan-tanyangan inspiratif seperti itu, semoga pertelevisian Indonesia bisa turut andil membangun Indonesia sejahtera. Pasalnya, selama ini pengaruh televisi masih menjadi hipnotis yang paling kuat untuk masyarakat, terlebih untuk kalangan menengah ke bawah.

Sadar kreasi juga ditunjukkan sebagian kecil televisi Indonesia untuk program-program unggulannya.
Beberapa di antaranya mengangkat budaya seperti ‘Ngelenong Nyok!’ yang di samping bisa menjadi tontonan yang menghibur, acara semacam itu juga bisa berdampak untuk kelestarian budaya, dan jika dikembangkan tentu bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai aset budaya yang layak dipromosikan dalam program pemerintah, Visit Indonesia 2008. Selain itu, yang bagi saya sendiri menarik dan kreatif adalah segmen Sinden Gosip dalam extravaganza. Perpaduan Sinden yang eksotik dan gosip yang modern menjadi hal yang unik dan menghibur. Apalagi dengan tamu-tamu Neng Tike (sinden) dari seluruh pelosok nusantara, seolah menegaskan kembali slogan Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini telah menghilang. Kebersamaan yang ada di Sinden Gosip menegaskan indahnya kebersamaan yang selama ini seolah raib entah ke mana.


Sadar kinerja
Kamis, 27 Desember 2007 sekitar pukul sepuluh pagi. Sebuah mobil yang bertulis “melayani pembuatan SIM” mangkal di pojok Simpang Lima. Saya tercengang. Sesaat kemudian, saya teringat dengan pemberitaan di sebuah televisi nasional tentang pelayanan pembuatan SIM di kota Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur tersebut, pelayanan pembuatan SIM lebih dipermudah lagi. Pos pelayanan pembuatan SIM terdapat di mal-mal kota itu. Selain itu penetapan harganya juga relatif lebih murah, yaitu Rp 85.000,00. Kenapa saya katakan murah? Sekitar pertengahan tahun 2007, saya membuat SIM di kota Jepara. Kocek yang perlu saya keluarkan saat itu sebesar Rp 200.000,00. Perbedaannya lebih dari 50%.

Tak hanya instansi kepolisian yang memperlihatkan selangkah lebih baik bagi pelayanan kepada masyarakat. Mobil layanan keliling juga dikeluarkan oleh PLN Semarang. Ini tentu berkait dengan kemudahan layanan juga. Beberapa instansi lain, bisa dilihat di televisi. Seperti dinas pajak dengan program-programnya yang banyak disosialisasikan di televisi, dinas pendidikan yang bekerja sama dengan pihak televisi swasta dengan membuat talkshow, dan yang paling hangat adalah program Visit Indonesia oleh dinas kebudayaan. Meskipun masih banyak kekurangan, dengan awal yang baik ini, semoga semakin banyak kepedulian semua pihak khususnya pemerintah untuk menjadikan Indonesia semakin terdepan. Bukan soal korupsi, pembalakan liar, hobi impornya, atau memburu barang-barang bekas luar negeri.


Sadar Lingkungan

Tak ada yang bisa memprediksi kapan bencana akan datang, begitu pula krisis sosial. Yang bisa dilakukan adalah merevitalisasi keadaan. Bertindak sesuai kemampuan, mulai sekarang. Seperti yang dilakukan oleh warga dan berbagai komunitas pemerhati budaya Yogyakarta untuk menyelamatkan bangunan kuno yang hancur pascagempa. Jogja Heritage Society mencatat, dari 150 rumah Joglo yang ada, 88 mengalami kerusakan. Ada 8 bangunan yang ambruk, 47 rusak berat, 16 rusak sebagian, dan 17 rusak-rusak. Pemilik rumah yang kebanyakan berprofesi abdi dalem dan perajin perak tentu merasa berat untuk membangun kembali Joglo yang biaya restorasinya bisa mencapai Rp 150 – 450 juta. Atas prakarsa Pusaka Yogya Bangkit untuk mencari orang tua asuh untuk perbaikan kembali joglo-joglo yang mengalami kerusakan, beberapa rumah joglo bi kampong Kudusan, Jagalan, Kota Gede kembali berdiri kokoh.

Sebagai langkah preventif, Tri Rismaharini bisa menjadi contoh. “Saya selalu panik kalau ada angin kencang, khawatir pohon di jalanan pada roboh,” kata Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota Surabaya kepada Tempo. Kekhawatiran Tri Risma tentu beralasan. Kerusakan lingkungan Indonesia yang semakin parah menyebabkan alam mulai tak ramah. Puting beliung, banjir, tanah longsor, gempa bumi, hampir tiap saat menghiasi layar kaca, menjadi headline media. Untuk mengantisipasi hal itu, Tri Risma menghijaukan Surabaya. Jalan-jalan protokol Surabaya ditanaminya aneka jenis tanaman dari kebun bibit wonorejo. Sebanyak 300 pegawainya dikerahkan.

Selain menyulap Taman Bungkul yang dulu kumuh menjadi tempat yang nyaman untuk bersantai, ia juga berencana akan mengubah area seluas delapan hektare di kecamatan Lakarsari dan Taman Flora di kawasan Bratang menjadi hutan kota dan pusat flora.

Geliat energi positif yang semakin nampak di berbagai bidang, diharapkan lebih mempercepat laju peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Laiknya keoptimisan Kartini yang menyebutkan bahwa Habis Gelap Terbitlah Terang.

No comments: