Tuesday, July 10, 2007

Metamorfosis Ikal dalam Karya Andrea 1 & 2

Setelah membaca laskar pelangi, yang saya rasakan adalah sebuah emosi jiwa. Ya, saya merasa masuk dalam ruang penceritaan. Saya hanyut di dalamnya. Saya ingin mengetahui bagaimana nasib tokoh-tokoh itu terutama Lintang dan Mahar. Kemudian saya lanjutkan dengan pembacaan novel sang Pemimpi, yang kata Andrea lanjutan dari kisah Laskar Pelangi.

Saya sedikit kecewa karena yang saya temukan orang lain. Bukan mereka yang membuat diri saya bergejolak ingin tahu. Lalu setelah itu, saya sadar bahwa Lintang dan Mahar sudah berakhir dengan ditutupnya lembar terakhir Laskar Pelangi.Lintang menjadi seorang supir sedangkan Mahar sedikit lebih beruntung, menjadi seorang budayawan lokal. Hasrat keingintahuan saya sebenarnya tidak terpuaskan. Tapi apalah daya, informasi yang diberikan penulis hanya sekadar itu, ala kadarnya.

Karya pertama dan kedua Andrea bagi saya bukan sepenuhnya Dwilogi. Alasannya simpel saja. Ikal yang ada pada karya pertama bukanlah Ikal yang ada pada tokoh kedua. Ikal dalam karya pertama hanya seorang tokoh yang keberadaannya tidak terlalu penting. Ada tiadanya Ikal takkan mengganggu isi cerita. Mungkin alasan tersebut bisa dipatahkan dengan argumen seperti ini. “Jika tidak ada ikal, tidak akan ada sang juru cerita yang akan mengantarkan sejarah laskar pelangi dalam sebuah memoar.” Benar. Hanya saja sang juru cerita bisa diganti orang lain.

Namun masalah yang kemudian muncul adalah karena ini memoar, sebuah kisah nyata. Jadi, Ikal tetap saja Ikal yang keberadaannya tidak bisa digantikan orang lain. Mungkin diantara kesebelas orang itu yang punya inisiatif atau obsesi menulis hanyalah seorang Ikal (Andrea Hirata Seman).

Alasan lain. Ikal dalam novel pertama tidak digambarkan berkarakteristik kuat sebagai tokoh yang menjual. Sebenarnya siapa tokoh yang ingin dimemoarkan? Tentu Ikal. Kenapa orang yang seharusnya menjadi tokoh utama seolah-olah tidak tampak. Ia tidak meresap di hati pembaca. Dalam novel itu, Ikal hanya seorang bocah yang memunyai sepuluh orang teman yang aneh-aneh. Ia seorang tokoh yang kurang mendapat simpati pembaca. Bukankah tokoh utama biasanya merebut hati pembaca?

Kemudian wajar jika pembaca Laskar Pelangi lebih mempertanyakan kondisi Lintang saat ini, atau Mahar barangkali daripada Ikal. Bukan karena keberadaan Ikal yang memang sudah diketahui. Tapi karena Lintang dan Mahar digambarkan lebih hidup daripada yang lain.

Selanjutnya, dalam sang Pemimpi, tiba-tiba Ikal ada secara penuh. Hanya dia satu-satunya tokoh dalam laskar pelangi yang diADAkan kembali. “Siapa Ikal yang berani-beraninya muncul di karya Andrea yang kedua?”. Dialah tokoh utama itu. Tanpa Ikal, sang Andrea sendiri, takkan ada Laskar Pelangi, sang Pemimpi, kemudian Edensor, dan Maryamah Karpov.

Dalam karya keduanya, Andrea memunculkan karakteristik tokoh Ikal yang harus dilihat. Ikal orang yang pandai, pekerja keras, dan sedikit nakal karena keremajaannya. Ia bukan lagi orang yang ikut ke sana ke mari tidak jelas seperti yang ada dalam Laskar Pelangi. Ialah tokoh sebenarnya tokoh.

Karya kedua Andrea memang berbeda. Awalnya saya menganggap bahwa Andrea dan Laskar Pelanginya tak lebih hanya mendapat durian runtuh. Jika tidak punya Lintang, Mahar, dan sekolah mengenaskan yang bersanding dengan lingkungan elit PN Timah, ia tidak bakal seberuntung sekarang. Ia punya modal awal cerita yang menarik. Di samping itu, ia juga tiba-tiba muncul saat masyarakat mulai bosan dengan keberadaan chikleet tenleet.

Saya menyukai Laskar Pelangi karena substansi ceritanya yang menyentuh sisi kemanusiaan. Sebuah kehidupan yang serasa tidak nyata. Saya tidak melihat ada kelebihan lain dalam novel tersebut kecuali ceritanya itu sendiri.

Namun setelah membaca sang pemimpi, saya mulai berpikir ulang. Saya sadar ada kepiawaian di sana. Jika tidak ditulis oleh jari yang lentur, pikiran seorang yang imajinatif; cerita Ikal, Arai dan Jimbron, hanya akan berakhir pada keranjang sampah. Namun, Andrea membuktikan itu. Cerita yang biasa bakal jadi luar biasa bila diramu dengan baik. Mungkin begitu juga dalam laskar pelangi.

Andrea dan budayanya

Ada pujian yang berlebihan pada Andrea. Ia bukan dari lingkungan sastra namun dapat membuat novel best seller. Tak hanya karya pertamanya, namun juga karya yang kedua.

Berbicara mengenai best seller, banyak novelis muda Indonesia yang bukan dari lingkungan sastra tapi karyanya terjual laris manis. Sebaliknya, tidak mudah menemukan karya yang dibuat oleh kalangan sastra yang dapat diterima masyarakat luas.

Best seller tidaknya karya tidak hanya ditentukan hanya dari novelnya itu sendiri. Banyak kalangan yang berjasa. Di sini bisnis pun bermain. Dengan sedikit taktik karya bisa menjadi fenomenal. Misalnya saja dengan promosi besar-besar di media, launching dengan mengundang artis, atau bisa juga mencari komentator untuk ombustment.

Sedangkan dalam novel Andrea, saya lihat murni dari karya. Kelihaian bercerita menjadi kunci kesuksesannya. Kelihaian itu tak serta merta turun dari langit. Lingkungan dan budayanya sangat berpengaruh.

Ia orang Belitong, berdarah Melayu. Coba tengok ke belakang. Masyarakat tentu tidak awam dengan sastrawan Melayu seperti HAMKA, Marah Roesli, Muchtar Loebis, Iwan Simatupang dll. Jadi wajar jika Andrea pun seperti itu. Orang melayu terkenal pintar bercerita.

“Pendidikan di Sumatra itu sangat berbeda dengan di Jawa. Guru di sana seperti seorang teman. Dia hanya bertugas memfasilitasi. Orang Sumatra yang sukses itu bisa sangat sukses Karena cara mendidiknya tadi. Contohnya saja Andrea,” kata Aulia Muhammad dalam diskusi “Membaca Geliat penyair muda” di Fakultas Sastra Undip. Ia seorang pemred suaramerdeka.com yang juga bergelut dalam dunia sastra. Sebagai seorang yang lahir di Sumatra, tentu ia tahu bagaimana sistem pendidikan di sana.

Dalam Laskar pelangi maupun sang Pemimpi sebenarnya juga bisa terlihat jelas bagaimana pendidikan di sana. Tak jauh beda dengan yang dikatakan Aulia. Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea menjelaskan bagaimana cintanya ia dengan sastra. Itu tak lain karena gurunya. Sang guru mengajarkan sastra sekaligus menghipnotisnya untuk mencintai bidang itu. Ia membuat pelajaran itu penuh dengan kepesonaan. Tak hanya teori yang diajarkan tapi ia membebaskan sang murid pada imajinasi-imajinasinya sendiri. Jadi, benarkah Andrea Hirata Seman benar-benar awam dalam dunia sastra?

1 comment:

bayu fijrie said...

saya sudah baca 3 novel andrea hirata plus nonton filmnya. emang rada "loncat2" alur cerita dari ketiga novel itu. banyak misteri juga dibalik ketiganya, terutama tentang tokoh2 yang belum tuntas diceritakan (seperti arai, apakah dia lulus S2 atau gak). tapi ke-3 nya sangat inspiratif.