Friday, February 8, 2008

Dewa punya hati, Sayang…

Terimakasih telah mengertiku
Menjejak langkah menuju lorong surgamu yang Agung
Emas menyala-nyala di atasnya
Penuh pesona dalam pencarianmu kini, juga nanti

Percayakah kau pada keajaiban waktu?
Dewata menciptakannya dengan hati dan perasaan
Tentu di dalam arasy-Nya, di atas langit

Kelak kau akan tahu
Bagaimana Ia dengan senyum-Nya berucap pada kita
Tentang kebenaran dan keindahan sebuah takdir
Pada diri engkau, aku, dan mereka

Tuhanku Maha Pengasih dan Penyayang
Tiada yang lebih dari pada-Nya

Read More......

Menuju Islam Inklusif

Dekonstruksi Sastra Pesantren
Dr M Abdullah M.A


Belakangan ini, banyak pemikir Islam dari halaqah (majlis ta’lim) di masyarakat, terutama aktivis kampus dan aktivis pesantren yang menyuarakan gagasan baru dan sistem penafsiran baru terhadap ajaran Islam, khususnya ilmu kalam. Kelompok ini terang-terangan menghantam ajaran teologi Asy’ariyah, ajaran yang banyak dianut warga NU.

Fenomena ini makin menguat dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam. Motornya dari kelompok pengajian Paramadina (pimpinan alm Nurcholis Madjid), beberapa cendekiawan Islam UIN Jakarta, dan munculnya LSM Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dipelopori oleh Ulil Abshar Abdalla (Direktur Freedom Institute dari generasi muda NU), juga Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), dan beberapa kelompok liberal lainnya.

Intinya, pandangan mereka terhadap agama, Al-Quran, dan eksistensi Tuhan sangat inklusif dan berpaham liberal. Kelompok “pembaharu” ini menganut teologi Pluralis, sebuah teologi yang didasarkan pada kemajemukan paham sebagai sebuah kebenaran. Mereka menganggap semua agama benar. Dalam masalah ketuhanan, kelompok ini berusaha mereduksi makna eksistensi dan keabsolutan Tuhan. Kelompok inilah yang disebut sebagai Islam Inklusif, atau Islam Rasionalis.

Bukan hanya itu. Pemikir NU sendiri pun menyuarakan kritik terhadap paradigma Asy’ariyyah. Serangan yang cukup gencar dilakukan oleh said Agil Siradj, Masdar Farid Mas’udi, Zuhairi Misrawi dari tokoh kritis NU. Mereka mengkritik keras terhadap warisan doktrinal Ahlussunah Waljama’ah di lingkungan NU yang banyak dipengaruhi doktrin teologi Asy’ariyyah.

Dikatakan bahwa teologi Asy’ariyyah telah lama membawa umat Islam ke dalam kondisi yang statis dan beku dari kemajuan modernitas. Mereka juga mengatakan dampak dari teologi Asy’ariyyah itu membawa kecenderungan umat Islam pada prostatus quo, pro-establisment, dan cenderung menghindari kritik terhadap penguasa.

Muncul dugaan, kritik Agil Siradj banyak diilhami oleh tulisan-tulisan Al-Jabiri, seorang filsuf Mesir kelahiran Maroko yang terkenal dengan “kritik nalar arab”-nya.
Kritik Al-Jabiri terhadap teologi klasik seperti madzhab Asy’ariyyah sangat tampak pada komentarnya bahwa teologi yang dianggap paling fundamental dalam tradisi Islam ini harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar modernitas. Untuk itu, ia mengajukan neo-kalam (ilmu kalam baru).

Ilmu kalam baru itu tak hanya mengajarkan doktrinal sebagaimana yang pernah dipahami Al-Asy’ari, Baqillani dan Al-Ghazali. Ilmu itu lebih merupakan revolusi ideologis untuk melawan kebekuan pemikiran Islam klasik.

Dari sini, dapat dipahami mengapa Nuruddin Ar-Raniri terusik untuk menerjemahkan kitab dari bahasa Arab ke dalam bahasa melayu. Terjemahan ini dimaksudkan untuk memberikan jawaban kepada umat Islam tentang pemikiran ilmu kalamnya Abu Hasan Al-Asy’ari.

Ar-Raniri, ulama Aceh, menganggap betapa pentingnya kitab semacam itu menjadi bacaan umat Islam. Sehingga ia merasa perlu menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Terjemahannya kemudian diberi judul Durrat Al-Fara’id bi Syarh al-Aqa’id.

Kajian kitab tersebut bertumpu pada diskusi panjang antara Asy’ariyyah (ortodoks) dan Mu’tazilah (kaum rasionalis) tentang pokok-pokok ushuluddin. Diantaranya ada lima pokok bahasan, yaitu hubungan akal dan wahyu, kehendak bebas perbuatan manusia (free will), antara kekuasaan Allah (taqdir) dan usaha perbuatan manusia, sifat-sifat Tuhan Allah, dan keadilan Tuhan Allah.

Karena itulah kitab Durrat Al-Fara’id bi Syarh al-Aqa’id dirasa penting diteliti karena bagian dari sastra Pesantren yang sangat berpengaruh pada masa depan Islam.

Dalam buku Dekonstruksi Sastra Pesantren, Muhammad Abdullah tak hanya menulis tentang kajian kritisnya terhadap karya Ar-Raniri. Ia juga mencoba meneliti ulang kitab Sifa’Al-Qulub yang pernah diteliti oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze. Dan ia menemukan beberapa kesalahan fatal dari penelitian Nieuwenhuijze.

Selain itu, ada juga penelitian tentang Wirid, Hizib, dan Wifiq yang menjadi bagian penting dalam sastra pesantren. Dan juga ada kajian tentang sastra Lisan pesantren di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.

Dalam sejarah intelektual Indonesia, pesantren merupakan basis pengajaran Islam tradisional yang berakar dari kitab-kitab Islam klasik. Dari pesantren itulah dapat diketahui sistem pengajaran yang didasarkan pada sumber-sumber tertulis berupa naskah-naskah klasik maupun kitab klasik terbitan Timur Tengah yang merupakan karya ulama salaf. Kitab-kitab jenis inilah yang dalam sastra Melayu dan tradisi pesantren dikenal sebagai sastra kitab, atau secara khas disebut kitab kuning.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah definisi sastra pesantren hanya terbatas kepada karya-karya yang bersumber pada kitab, yang notabene berbahasa arab. Bagaimana dengan karya-karya yang dihasilkan oleh santri lokal, yang tidak menggunakan bahasa Arab. Apakah ini juga bisa dikatagorikan sebagai sastra pesantren. Dan termasuk juga, munculnya karya sastra pesantren belakangan ini, yang banyak ditulis oleh santri muda, yang masuk dalam arus sastra Populer, seperti yang dimotori oleh Komunitas Matapena, asuhan LKiS Yogyakarta?

Selain itu juga, dari sisi pengarang, apakah sastra pesantren harus dilahirkan oleh santri. Dan apakah yang disebut sastra pesantren adalah karya sastra yang bercerita tentang tema pesantren, yang menggunakan latar pesantren?

Beragam pertanyaan di atas tidak terjawab dalam buku yang merupakan hasil disertasi program doktor dosen Jurusan Sastra Indoensia Undip itu.

Namun demikian, meski tidak menjawab permasalahan sastra pesantren secara faktual, buku ini dengan baik mampu mengurai akar kemunculan sastra pesantren di Indonesia. Setidaknya ini bisa menjadi pijakan awal bagi mereka yang hendak memahami sastra pesantren secara mendalam.

Membaca buku ini, kita akan dibukakan kepada kearifan para pemikir islam yang tumbuh di kalangan pesantren. Bukan seperti citra yang muncul belakangan, pesantren sebagai basis gerakan islam fundamental yang sarat dengan terorisme. Dan akhirnya, kontribusi para pemikir pesantren dalam perkembangan sastra dan khasanah pemikiran intelektual Indonesia tak bisa dinafikan lagi.

Read More......

Monday, February 4, 2008

Cerita Pagi

Sobat,
Ragamu penuh luka
Rasamu penuh lara
Matamu berkaca-kaca
Apa yang kau sesalkan, apa yang kau bahagiakan tetap terasa hampa

Bukan,
Aku tidak berkata bahwa dukamu adalah dukamu, sukamu is sukamu
Dengarkanlah, dan kau akan semakin mengerti

Kau duduk merenung, mengucap kisah tak ada ujung
Lalu,
Kau kembali menyapa warna dalam hitam putihmu
Tidakkah kau mengerti

Tataplah langit saat hujan mulai reda
Ya
Pesona pelangi akan membawamu pada sebuah teka teki
Hidup, bahagia, derita

Aku mendengarmu
Aku merasamu

Namun,
Keindahan yang kau cari tetap melakat pada pucuk jari lentikmu.

Dan kau tahu itu!!!








*Puisi ini saya dedikasikan untuk sobat kecilku yang selalu bermimpi tentang negeri di atas awan, SA.

*Dan untuk sobat-sobat saya yang menyatu dalam hati, ‘selalu ada keajaiban, maka bangun dan berlarilah….’

Read More......

Geliat Energi Positif; Habis Gelap Cepatlah Terang

Keterpurukan itu mulai muncul sepuluh tahun belakangan. Entah apa yang menyebabkan derita berlama-lama menghampiri negeri ini. Yang pasti, kejadian-kejadian buruk beruntun seolah tak mau berhenti, semenjak gonjang ganjing reformasi 1998 lalu. Dari gejala sosial hingga gejala alam. Dari isu perikemanusiaan hingga melangkanya flora fauna akibat ulah manusia.

Coba kita tengok sebentar apa yang terjadi antara tahun 1998 hingga sekarang. Orde baru runtuh yang secara otomatis tampuk kepemimpinan rezim berkuasa harus diganti. Perebutan kekuasaan mulai terjadi, anarkisme tak terelakkan. Yang menjadi pemandangan miris saat itu adalah perilaku masyarakat yang diliputi emosi. Pertikaian di mana-mana, penjarahan merajalela.

Krisis ekonomi yang kala itu menjadi isu hangat dunia pun ikut menghantam Indonesia. Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok tak terelakkan. Masyarakat semakin tercekik. Indonesia yang tinggal selangkah dinobatkan menjadi negara maju oleh dunia Internasional, kembali jatuh menjadi negara miskin. Macan Asia itu menjadi ompong.

Keadaan ini semakin buruk ketika banyak pemberontakan di daerah-daerah yang menyuarakan disintegrasi. Ketidakpuasan pemerataan ekonomi menjadi penyebabnya. Pemerintah pusat hanya mengeruk tanpa membangun.

Penderitaan belum berakhir. Seolah tak ingin ketinggalan, alam mulai menampakkan kebengisannya. Bencana ikut meramaikan tahun-tahun kelam. Tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatra Utara, banjir yang hampir tiap tahun melanda ibukota Jakarta dan banyak kota lain di Indonesia, gempa Jateng dan DIY, bencana Lumpur Lapindo, hingga permasalahan rusaknya hutan di Indonesia.

Banyaknya permasalahan yang melanda Indonesia,tentu pemerintah tak tinggal diam. Banyak hal dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Di antaranya mencegah disintegrasi meskipun satu provinsi telah lepas, Timor Timur. Selain kehilangan provinsi termuda itu, Indonesia juga kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan, dan beberapa pulau kecil Indonesia yang telah diprivatisasi. Hilang pulau, hilang pula Badan Usaha Milik Negara. Beberapa perusahan pemerintah dijual untuk memperbaiki ekonomi Indonesia. Namun, hasilnya bisa dilihat sekarang. Indonesia belum bisa bangkit, rakyat masih belum sejahtera.


Sadar kreasi

Untuk membangkitkan ekonomi rakyat, perlu kesadaran semua pihak, tak terkecuali rakyat itu sendiri. Hal inilah yang akhir-akhir ini banyak dibidik televisi nasional. Beberapa media mencoba menawarkan acara-acara inspirarif yang bagi saya sendiri cukup menarik. Bad news is a good news tak lagi menjadi satu-satunya jargon media sebagai dalih ‘menuju perbaikan’. Berita-berita bagus (good news) perlu ditayangkan untuk membangkitkan positivisme rakyat. Dampak paling kecil yang bisa diharapkan adalah kekreatifan masyarakat sendiri untuk meningkatkan perekonomian masing-masing.

Satu contoh menarik yang pernah ditayangkan salah satu televisi swasta nasional adalah liputan tentang seorang ibu muda di Solo yang berusia sekitar 35 tahun. Bermodal bisa menjahit, ia mengumpulkan sampah-sampah plastik limbah keluarga seperti plastik deterjen, pewangi, dan berbagai sampah plastik lainnya yang kemudian disulap menjadi tas-tas cantik yang layak jual. Hal yang tak jauh beda mungkin banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia di luar sana. Dengan maraknya tayangan-tanyangan inspiratif seperti itu, semoga pertelevisian Indonesia bisa turut andil membangun Indonesia sejahtera. Pasalnya, selama ini pengaruh televisi masih menjadi hipnotis yang paling kuat untuk masyarakat, terlebih untuk kalangan menengah ke bawah.

Sadar kreasi juga ditunjukkan sebagian kecil televisi Indonesia untuk program-program unggulannya.
Beberapa di antaranya mengangkat budaya seperti ‘Ngelenong Nyok!’ yang di samping bisa menjadi tontonan yang menghibur, acara semacam itu juga bisa berdampak untuk kelestarian budaya, dan jika dikembangkan tentu bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai aset budaya yang layak dipromosikan dalam program pemerintah, Visit Indonesia 2008. Selain itu, yang bagi saya sendiri menarik dan kreatif adalah segmen Sinden Gosip dalam extravaganza. Perpaduan Sinden yang eksotik dan gosip yang modern menjadi hal yang unik dan menghibur. Apalagi dengan tamu-tamu Neng Tike (sinden) dari seluruh pelosok nusantara, seolah menegaskan kembali slogan Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini telah menghilang. Kebersamaan yang ada di Sinden Gosip menegaskan indahnya kebersamaan yang selama ini seolah raib entah ke mana.


Sadar kinerja
Kamis, 27 Desember 2007 sekitar pukul sepuluh pagi. Sebuah mobil yang bertulis “melayani pembuatan SIM” mangkal di pojok Simpang Lima. Saya tercengang. Sesaat kemudian, saya teringat dengan pemberitaan di sebuah televisi nasional tentang pelayanan pembuatan SIM di kota Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur tersebut, pelayanan pembuatan SIM lebih dipermudah lagi. Pos pelayanan pembuatan SIM terdapat di mal-mal kota itu. Selain itu penetapan harganya juga relatif lebih murah, yaitu Rp 85.000,00. Kenapa saya katakan murah? Sekitar pertengahan tahun 2007, saya membuat SIM di kota Jepara. Kocek yang perlu saya keluarkan saat itu sebesar Rp 200.000,00. Perbedaannya lebih dari 50%.

Tak hanya instansi kepolisian yang memperlihatkan selangkah lebih baik bagi pelayanan kepada masyarakat. Mobil layanan keliling juga dikeluarkan oleh PLN Semarang. Ini tentu berkait dengan kemudahan layanan juga. Beberapa instansi lain, bisa dilihat di televisi. Seperti dinas pajak dengan program-programnya yang banyak disosialisasikan di televisi, dinas pendidikan yang bekerja sama dengan pihak televisi swasta dengan membuat talkshow, dan yang paling hangat adalah program Visit Indonesia oleh dinas kebudayaan. Meskipun masih banyak kekurangan, dengan awal yang baik ini, semoga semakin banyak kepedulian semua pihak khususnya pemerintah untuk menjadikan Indonesia semakin terdepan. Bukan soal korupsi, pembalakan liar, hobi impornya, atau memburu barang-barang bekas luar negeri.


Sadar Lingkungan

Tak ada yang bisa memprediksi kapan bencana akan datang, begitu pula krisis sosial. Yang bisa dilakukan adalah merevitalisasi keadaan. Bertindak sesuai kemampuan, mulai sekarang. Seperti yang dilakukan oleh warga dan berbagai komunitas pemerhati budaya Yogyakarta untuk menyelamatkan bangunan kuno yang hancur pascagempa. Jogja Heritage Society mencatat, dari 150 rumah Joglo yang ada, 88 mengalami kerusakan. Ada 8 bangunan yang ambruk, 47 rusak berat, 16 rusak sebagian, dan 17 rusak-rusak. Pemilik rumah yang kebanyakan berprofesi abdi dalem dan perajin perak tentu merasa berat untuk membangun kembali Joglo yang biaya restorasinya bisa mencapai Rp 150 – 450 juta. Atas prakarsa Pusaka Yogya Bangkit untuk mencari orang tua asuh untuk perbaikan kembali joglo-joglo yang mengalami kerusakan, beberapa rumah joglo bi kampong Kudusan, Jagalan, Kota Gede kembali berdiri kokoh.

Sebagai langkah preventif, Tri Rismaharini bisa menjadi contoh. “Saya selalu panik kalau ada angin kencang, khawatir pohon di jalanan pada roboh,” kata Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota Surabaya kepada Tempo. Kekhawatiran Tri Risma tentu beralasan. Kerusakan lingkungan Indonesia yang semakin parah menyebabkan alam mulai tak ramah. Puting beliung, banjir, tanah longsor, gempa bumi, hampir tiap saat menghiasi layar kaca, menjadi headline media. Untuk mengantisipasi hal itu, Tri Risma menghijaukan Surabaya. Jalan-jalan protokol Surabaya ditanaminya aneka jenis tanaman dari kebun bibit wonorejo. Sebanyak 300 pegawainya dikerahkan.

Selain menyulap Taman Bungkul yang dulu kumuh menjadi tempat yang nyaman untuk bersantai, ia juga berencana akan mengubah area seluas delapan hektare di kecamatan Lakarsari dan Taman Flora di kawasan Bratang menjadi hutan kota dan pusat flora.

Geliat energi positif yang semakin nampak di berbagai bidang, diharapkan lebih mempercepat laju peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Laiknya keoptimisan Kartini yang menyebutkan bahwa Habis Gelap Terbitlah Terang.

Read More......

Sunday, February 3, 2008

Cak Nun: Macan Berlaku Tikus

(Seputar Indonesia, 12 Januari 2008)

Apa komentar Anda jika seorang Cak Nun mengatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Saya secara spontan akan mengatakan ‘Ya’. Kenapa? Sejak kecil, semenjak belajar di sekolah dasar sekitar tahun 90-an awal, kata-kata itu sering saya dengar dari guru-guru saya. Sampai sekarang dan sampai kapan pun saya yakin masih tetap melekat dan tak akan luntur.

Bukan omong kosong meskipun dulu yang saya pahami, besarnnya Indonesia adalah besarnya tanah air dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Hutan, tambang, hasil kelautan, dan dari kesuburan tanah hingga apapun yang ditanam pasti bisa tumbuh dan menghasilkan.

Kebesaran Indonesia yang saya tahu juga berkat kebesaran nama Soekarno yang membawa Indonesia bisa dipandang di tingkat dunia. Lalu, setelah semuanya hilang, masihkah Indonesia menjadi negara yang besar?
Saya sadar, pemikiran saya terlalu cupet dalam memandang makna “besar” Indonesia?

Dan saya masuk dalam jajaran pemalas seperti yang diungkapkan Cak Nun dalam esainya, 12 Januari 2008 di Koran Seputar Indonesia (Sindo). Daripada mikir jauh ke belakang, mending dolan ke mal dan creambath di salon atau main gaple. Akhirnya kita tidak mengerti macan kita sehingga berlaku sebagai tikus. Kita selalu bilang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar: ternyata itu omong kosong dan bohong mlompong. Pernyataan bahwa kita adalah bangsa besar bukan pernyataan ilmiah, bukan pernyataan sejarah, bukan pernyataan spirit, bukan pernyataan kesadaran.

Lalu, Anda akan sedikit mengerti ‘Kebesaran Indonesia’ jika membaca tulisan Emha Ainun Najdib di dalam esainya dengan judul “Macan Berlaku Tikus”.

Esai itu konvensional, sebuah tulisan yang berisikan tentang bagaimana manusia Indonesia bersikap atas bangsanya sendiri. Tentu setelah mengerti dan mencoba memahami karekteristik manusia-manusia di dalamnya. Meski tulisan tersebut cukup biasa, namun bagi saya, sanggup memacu otak untuk berpikir dan merenung sejenak melihat apa yang sedang terjadi. Bagi saya esai ini menarik. Inspiratif.

Malu, kata Cak Nun, kalau bangsa ini nantinya hanya sepadan dengan Bush, Howard, atau malah kepada dua orang itu saja takut.

Malu, katanya pula, hanya karena klenik kebatinan khayalan yang bernama Rambo saja takut dan takluk. Hanya beberapa film saja mosok sudah cukup untuk dipakai mencuci otak ratusan juta manusia yang aslinya macan, sehingga berubah menjadi tikus. Menjadi bangsa yang kerdil, yang tidak percaya diri, pesimis, hingga mimpipun harus “impor” dari Hongkong, Macau, ataupun Hollywood. Kurang berani berpikir sendiri, sapere aude.

Sedangkan di sisi lain, penjual-penjual mimpi seperti parpol, yang melahirkan pemimpin besar, kurang memberi angin segar untuk bangsa. Kebanyakan dari mereka hanya berpikir menang meraih kursi kepresidenan

Jadi apapun parpol yang membangun diri, siapapun tokoh yang muncul,mbok ya punya cita-cita besar bertingkat dunia. Pahami bangsamu dengan seksama seluruh seginya luar dalam esok dan masa silamnya, dari situ kita gali cita-cita mendunia. Indonesia bisa menjadi mercusuar dunia. Indonesia menjadi pusat dunia. Indonesia menjadi Ibukota Dunia, sesudah Indonesia menemukan Ibukota sejatinya dan pindah dari Jakarta ke situ.

Pemimpin besar harus berpandangan futuristik. Berpikir bagaimana membangun bangsa tanpa harus menggantungkan diri pada negara lain. Bagaimana mendapatkan dana tanpa harus menjual aset-aset penting negara yang seyogyanya untuk kepentingan rakyat.
.

Bahkan tidak mustahil pemimpin Indonesia mampu lebih tajam dari De Gaull, lebih futurologis dari Lincoln, bahkan ada ratusan ribu pemimpin dunia yang bisa menjadi adrenalin dan aliran darah hangat seorang pemimpin baru Indonesia.

Tuhan pernah berkata jika tidak salah bunyinya seperti ini: Ud’uni Astajib Lakum; mintalah kepadaKu niscaya Aku akan mengabulkannya untukMu. Jadi mulailah bermimpi besar dan Anda akan menjadi “besar”. Andrea Hirata sudah membuktikannya, pengalamannya bisa dibaca dalam karya tetraloginya, Effendi Ghozali sudah memberi motivator dengan News.com-nya yang selangkah lebih maju, tak hanya berani bermimpi; “jangan hanya bisa mimpi, mulailah bergerak”. Dan Cak Nun melahirkan tulisan ini, menjadi motivator saya untuk bergerak.

Cak, mimpimu bukan hanya utopia dan omomg kosong. Tulisanmu tak akan sia-sia. Akan ada ribuan penelitian yang lahir bahkan ribuan buku akan terbit dari sejengkal tulisanmu di Koran tersebut. Salah satunya adalah tulisan ecek-ecekku yang mungkin tidak banyak berpengaruh untuk bangsa, namun mimpimu adalah mimpiku. Secercah harapan pasti akan lahir.

Read More......