Monday, July 30, 2007

Pandanglah Bintang Timur

Pandanglah bintang timur, dan kau akan tahu
Ada seberkas sinar yang membawamu pada senyum
Lorong-lorong waktu terasa tak berarti
Dan kau akan merasa bahwa sayap malaikat tiba-tiba datang pada tubuh lelahmu

Apa yang kau tanya,
Tentu tak sepatahpun kata yang bisa kau tuturkan pada-Ku
Getar-getar halus akan tampak pada tangan
Dan kau speechless

Sudahkah semakin mengerti,
Bila tidak, katakan tidak
Dan akan Kuberikan banyak lagi
Lalu kau akan tahu simbol keindahan yang sempurna

Read More......

Jiwa-jiwa Penuh Luka

Lalu mereka berdiri menatap sekat-sekat dibalik bukit cahaya
Cakrawala begitu jauh hingga tangan-tangan tak mampu meraihnya
Berdiri membisu tanpa gerak tanpa ekspresi
Jiwa-jiwa penuh luka

Lalu mereka tetap berdiri, termangu, penuh dengan aroma masa lalu
Hilir mudik angin menyibak rambut-rambut yang kering
Bibir-bibir yang pecah
Jiwa-jiwa penuh luka

Tak ada asa tak ada rasa
Tak ada ingin tak ada akan
Jiwa-jiwa penuh luka

Read More......

Tuesday, July 10, 2007

Menjual Sejarah Pribadi

Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintetis persis di depan mataku, indah tak terperi.
Kepada seorang ibu yang lewat aku bertanya, “Ibu, dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?”
Ia menatapku, lalu menjawab.
“Sure lof, it’s Edensor....”.

Penutup yang cantik untuk Edensor; sebuah karya yang mengandung mimpi-mimpi. Mungkin itulah temuan terbesar dan terindah bagi Ikal karena di sana ada kesejatian cinta. Cinta Ikal pada A Ling.

Namun sayang beribu sayang, keindahan itu tak bisa dilekatkan Andrea pada keutuhan karya. Ketika membaca Laskar Pelangi misalnya, meskipun dalam kebahasaan Andrea terlihat payah, namun hal itu tertutupi oleh cerita yang menarik. Atau mungkin bisa dibilang penceritaan yang menarik. Ia menghidupkan suasana dan tokoh. Lintang sangat hidup, begitu juga Mahar. Ia mendeskripsikan sekolah Muhammadiyah yang mengenaskan dengan detail.
Sedangkan Sang Pemimpi, Andrea menulisnya lebih bagus. Keunggulan karya yang kedua ini selain kebahasaan lebih baik dan juga detail, yang terpenting adalah peramuan karya dengan joke. Ini yang jarang dimiliki kebanyakan pengarang. Karena joke itulah, Sang Pemimpi menjadi karya yang beda; ringan, enak dibaca, dan menyenangkan. Dan satu lagi yang tak bisa dilepaskan dari Andrea, semangat bermimpinya. Karya yang Inspiratif.

Edensor, karya ketiga dari tetraloginya, masih sama seperti karya-karya sebelumnya yang bermain dengan “mimpi”. Dari segi kebahasaan lumayan bagus, namun dari segi lain sangat kurang kalau tidak mau dikatakan buruk. Ada pemaksaan-pemaksaan di sana.

Pemaksaan pertama, pemborosan bab. Selanjutnya saya ganti dengan mozaik karena Andrea menggunakan kata itu untuk penyebutan bab. Dari mozaik 1, “Laki-laki Zenit dan Nadir”; hingga mozaik 8, “Wawancara”, saya tak bisa melihat maksud Andrea dengan ceritanya itu. Yang saya tangkap justru curahan hati dan kenarsisannya.

“Laki-laki Zenit dan Nadir”. Di situ diceritakan bahwa Weh adalah lelaki yang gagah dan cerdas. Namun karena ketidakmujuran nasib, ia menjadi lelaki yang kurang beruntung. Ia terkena burut, penyakit yang disebabkan karena isi perut (usus) turun dan biasanya kantong kemaluan menjadi besar (KBBI). Karena itu, ia mengucilkan diri dari kehidupan sosial. Siapa Weh? Aku masih kecil dan Weh sudah tua ketika kami bertemu. Weh adalah sahabat masa kecil ayah ibuku (hal: 3).

Di kuburan usang, di antara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah belajar mencintai ibuku dari orang yang membenci hidupnya, dan Weh adalah orang pertama yang mengajariku mengenali diriku sendiri (hal: 12). Weh tidak lebih dari salah satu orang yang berharga bagi Andrea sendiri, karena itu, ia memasukkannya dalam cerita. Sebagai ucapan terimakasih. Weh bukan tokoh penting. Jika dianalogikan dalam sinetron Indonesia, ia adalah tokoh yang dimunculkan ketika sinetron sudah mulai diperpanjang karena rating yang cukup bagus.

Lalu, “Juru Pendamai”, “Pengembara Samia”, “Partner in Crime”, dan “Rahasia Gravitasi” (mozaik 3-6) menceritakan tentang masa kecil Ikal yang nakal. Ini masuk dalam alur perulangan. Andrea kecil sudah dimunculkan dalam Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Meski saya katakan memang beda karena cerita dalam Edensor ini adalah cerita masa kecil Ikal yang belum diceritakan pada novel-novel sebelumnya. Namun, seberapa penting cerita tersebut memengaruhi alur dan isi cerita? Membuyarkan. Ia membuat pembaca tidak nyaman.

Edensor ditunggu karena pembaca ingin mengetahui kelanjutan nasib Ikal dan Arai di luar negeri. Mereka tidak membutuhkan cerita masa kecil Ikal lagi. Inilah kenarsisan Andrea. Ia ingin banyak membuka sejarah hidupnya. Apa yang salah?

Ok, ini sebuah novel (memoar) yang sebenarnya tak masalah bila ingin menciptakan karya sekehendak hatinya, karena ia “sang tuhan”. Tapi ketika terlalu mengeksplor dirinya, tampak sekali tujuan utamanya yang sudah mulai membelok. Ia yang katanya ingin membuat karya yang mencerahkan, sudah mulai melupakan niat itu.

Kehadiran Weh dalam mozaik itu, dan beberapa mozaik setelahnya, hanya berfungsi mempertebal halaman. Atau mungkin, seperti yang saya katakan tadi, sebagai bentuk kenarsisan Andrea dan rasa terimakasihnya pada seseorang.

Ada 13 gambar dalam novel. Di antaranya gambar ikal yang dibonceng ayahnya, komidi putar, kartu wesel dan beberapa gambar lain. Semoga itu bukan bagian dari niat mempertebal halaman, namun sisi kreatif dari tim kreatif yang ingin memunculkan keindahan dalam novel. Keindahan versi mereka. Dan saya harap itu bukan bagian pemaksaan yang kedua.

Kelemahan lain Edensor adalah mozaik-mozaik pendek. Dalam Partner in Crime misalnya, hanya terdiri tiga halaman. Satu setengah halaman subbab pertama, dan satu setengah halaman subbab kedua. Subbab pertama terdiri dari tiga paragraf, paragraf yang berisi keindahan alam Belitong menjelang malam, kemudian paragraf tentang masjid, dan paragraf ketiga baru menceritakan keluarga Ikal yang memungut Arai. Arailah Partner in Crime itu. Subbab kedua kembali menceritakan keadaan ayahnya yang pusing memikirkan penggantian nama Ikal. Satu mozaik dengan beberapa cerita. Tidak fokus.

Mozaik seperti itu sebenarnya memperingan pembaca dalam menikmatinya. Namun titik kelemahan di dalamnya adalah ketidakdetailan sehingga pembaca kurang nyaman. Pembaca tidak bisa masuk dalam ruang penceritaan. Serasa seperti terpotong-potong.

Edensor, tetap punya hal menarik untuk dilahap. Pengetahuan baru tentang kebudayaan baru dengan orang-orang baru. Ya, budaya negara-negara Eropa dan beberapa Afrika yang mungkin asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Ini berkat tulisan Andrea dengan petualang-petualangannya yang menakjubkan.

Bagi saya, membaca Edensor serasa membaca laporan perjalanan Andrea. Saya kurang bisa menikmatinya. Edensor tidak senyastra Sang Pemimpi. Silakan buktikan!

Read More......

Metamorfosis Ikal dalam Karya Andrea 1 & 2

Setelah membaca laskar pelangi, yang saya rasakan adalah sebuah emosi jiwa. Ya, saya merasa masuk dalam ruang penceritaan. Saya hanyut di dalamnya. Saya ingin mengetahui bagaimana nasib tokoh-tokoh itu terutama Lintang dan Mahar. Kemudian saya lanjutkan dengan pembacaan novel sang Pemimpi, yang kata Andrea lanjutan dari kisah Laskar Pelangi.

Saya sedikit kecewa karena yang saya temukan orang lain. Bukan mereka yang membuat diri saya bergejolak ingin tahu. Lalu setelah itu, saya sadar bahwa Lintang dan Mahar sudah berakhir dengan ditutupnya lembar terakhir Laskar Pelangi.Lintang menjadi seorang supir sedangkan Mahar sedikit lebih beruntung, menjadi seorang budayawan lokal. Hasrat keingintahuan saya sebenarnya tidak terpuaskan. Tapi apalah daya, informasi yang diberikan penulis hanya sekadar itu, ala kadarnya.

Karya pertama dan kedua Andrea bagi saya bukan sepenuhnya Dwilogi. Alasannya simpel saja. Ikal yang ada pada karya pertama bukanlah Ikal yang ada pada tokoh kedua. Ikal dalam karya pertama hanya seorang tokoh yang keberadaannya tidak terlalu penting. Ada tiadanya Ikal takkan mengganggu isi cerita. Mungkin alasan tersebut bisa dipatahkan dengan argumen seperti ini. “Jika tidak ada ikal, tidak akan ada sang juru cerita yang akan mengantarkan sejarah laskar pelangi dalam sebuah memoar.” Benar. Hanya saja sang juru cerita bisa diganti orang lain.

Namun masalah yang kemudian muncul adalah karena ini memoar, sebuah kisah nyata. Jadi, Ikal tetap saja Ikal yang keberadaannya tidak bisa digantikan orang lain. Mungkin diantara kesebelas orang itu yang punya inisiatif atau obsesi menulis hanyalah seorang Ikal (Andrea Hirata Seman).

Alasan lain. Ikal dalam novel pertama tidak digambarkan berkarakteristik kuat sebagai tokoh yang menjual. Sebenarnya siapa tokoh yang ingin dimemoarkan? Tentu Ikal. Kenapa orang yang seharusnya menjadi tokoh utama seolah-olah tidak tampak. Ia tidak meresap di hati pembaca. Dalam novel itu, Ikal hanya seorang bocah yang memunyai sepuluh orang teman yang aneh-aneh. Ia seorang tokoh yang kurang mendapat simpati pembaca. Bukankah tokoh utama biasanya merebut hati pembaca?

Kemudian wajar jika pembaca Laskar Pelangi lebih mempertanyakan kondisi Lintang saat ini, atau Mahar barangkali daripada Ikal. Bukan karena keberadaan Ikal yang memang sudah diketahui. Tapi karena Lintang dan Mahar digambarkan lebih hidup daripada yang lain.

Selanjutnya, dalam sang Pemimpi, tiba-tiba Ikal ada secara penuh. Hanya dia satu-satunya tokoh dalam laskar pelangi yang diADAkan kembali. “Siapa Ikal yang berani-beraninya muncul di karya Andrea yang kedua?”. Dialah tokoh utama itu. Tanpa Ikal, sang Andrea sendiri, takkan ada Laskar Pelangi, sang Pemimpi, kemudian Edensor, dan Maryamah Karpov.

Dalam karya keduanya, Andrea memunculkan karakteristik tokoh Ikal yang harus dilihat. Ikal orang yang pandai, pekerja keras, dan sedikit nakal karena keremajaannya. Ia bukan lagi orang yang ikut ke sana ke mari tidak jelas seperti yang ada dalam Laskar Pelangi. Ialah tokoh sebenarnya tokoh.

Karya kedua Andrea memang berbeda. Awalnya saya menganggap bahwa Andrea dan Laskar Pelanginya tak lebih hanya mendapat durian runtuh. Jika tidak punya Lintang, Mahar, dan sekolah mengenaskan yang bersanding dengan lingkungan elit PN Timah, ia tidak bakal seberuntung sekarang. Ia punya modal awal cerita yang menarik. Di samping itu, ia juga tiba-tiba muncul saat masyarakat mulai bosan dengan keberadaan chikleet tenleet.

Saya menyukai Laskar Pelangi karena substansi ceritanya yang menyentuh sisi kemanusiaan. Sebuah kehidupan yang serasa tidak nyata. Saya tidak melihat ada kelebihan lain dalam novel tersebut kecuali ceritanya itu sendiri.

Namun setelah membaca sang pemimpi, saya mulai berpikir ulang. Saya sadar ada kepiawaian di sana. Jika tidak ditulis oleh jari yang lentur, pikiran seorang yang imajinatif; cerita Ikal, Arai dan Jimbron, hanya akan berakhir pada keranjang sampah. Namun, Andrea membuktikan itu. Cerita yang biasa bakal jadi luar biasa bila diramu dengan baik. Mungkin begitu juga dalam laskar pelangi.

Andrea dan budayanya

Ada pujian yang berlebihan pada Andrea. Ia bukan dari lingkungan sastra namun dapat membuat novel best seller. Tak hanya karya pertamanya, namun juga karya yang kedua.

Berbicara mengenai best seller, banyak novelis muda Indonesia yang bukan dari lingkungan sastra tapi karyanya terjual laris manis. Sebaliknya, tidak mudah menemukan karya yang dibuat oleh kalangan sastra yang dapat diterima masyarakat luas.

Best seller tidaknya karya tidak hanya ditentukan hanya dari novelnya itu sendiri. Banyak kalangan yang berjasa. Di sini bisnis pun bermain. Dengan sedikit taktik karya bisa menjadi fenomenal. Misalnya saja dengan promosi besar-besar di media, launching dengan mengundang artis, atau bisa juga mencari komentator untuk ombustment.

Sedangkan dalam novel Andrea, saya lihat murni dari karya. Kelihaian bercerita menjadi kunci kesuksesannya. Kelihaian itu tak serta merta turun dari langit. Lingkungan dan budayanya sangat berpengaruh.

Ia orang Belitong, berdarah Melayu. Coba tengok ke belakang. Masyarakat tentu tidak awam dengan sastrawan Melayu seperti HAMKA, Marah Roesli, Muchtar Loebis, Iwan Simatupang dll. Jadi wajar jika Andrea pun seperti itu. Orang melayu terkenal pintar bercerita.

“Pendidikan di Sumatra itu sangat berbeda dengan di Jawa. Guru di sana seperti seorang teman. Dia hanya bertugas memfasilitasi. Orang Sumatra yang sukses itu bisa sangat sukses Karena cara mendidiknya tadi. Contohnya saja Andrea,” kata Aulia Muhammad dalam diskusi “Membaca Geliat penyair muda” di Fakultas Sastra Undip. Ia seorang pemred suaramerdeka.com yang juga bergelut dalam dunia sastra. Sebagai seorang yang lahir di Sumatra, tentu ia tahu bagaimana sistem pendidikan di sana.

Dalam Laskar pelangi maupun sang Pemimpi sebenarnya juga bisa terlihat jelas bagaimana pendidikan di sana. Tak jauh beda dengan yang dikatakan Aulia. Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea menjelaskan bagaimana cintanya ia dengan sastra. Itu tak lain karena gurunya. Sang guru mengajarkan sastra sekaligus menghipnotisnya untuk mencintai bidang itu. Ia membuat pelajaran itu penuh dengan kepesonaan. Tak hanya teori yang diajarkan tapi ia membebaskan sang murid pada imajinasi-imajinasinya sendiri. Jadi, benarkah Andrea Hirata Seman benar-benar awam dalam dunia sastra?

Read More......