Wednesday, May 16, 2007

Jepara, Kartini, dan Perempuan Jepara

Ini tulisan pertama saya. Dan saya akan memulainya dengan kota Jepara. Saya akan bercerita sedikit tentang kota kelahiranku yang selama ini tidak kukenal. Bila dihitung dengan angka, kurang lebih lima kali saya datang ke kota itu. Bukan, bukan karena saya tinggal di kota lain, melainkan saya tinggal di ujung kota tersebut. Sebuah desa yang mungkin terpinggirkan.

Sabtu, 21 April 2oo7. Saya menyusuri Bumi Kartini. Moment yang spesial membuatku sedikit berharap akan mendapat pengalaman yang mengesankan. Sebuah pawai besar-besaran mungkin, karena teman saya pernah bilang hari Kartini selalu dirayakan dengan meriah di kota Jepara. Saya tak meragukan kata-katanya. Ia tinggal di daerah dengan jengkal yang lebih dekat ke kota kabupaten dari pada saya tentu.

Pagi, pukul 09.00 WIB. Saya memulainya dari kecamatan Welahan. Saya mulai memandang kota itu lekat-lekat. Sebuah SMA dengan dinding nama SMAN1 Welahan nampak sepi. Tak ada upacara. Apa yang ada di pikiran saya,”Ya, iyalah sudah jam sembilan”. Benar. Jangan berharap menemukan upacara di jam-jam siang seperti itu! OK?

Tidak. Beberapa menit kemudian saya menemukan sebuah SD. Saat itu upacara masih berlangsung. Beruntung. Dengan demikian saya masih bisa mengamati seberapa besar makna Kartini bagi mereka. Tentu tidak untuk diri masing-masing orang. Namun sedikit saja menjadikan beda hari Kartini dengan hari lain, bisa diselami keberadaan Kartini bagi mereka.

Upacara kali itu diwarnai dengan riasan wajah-wajah mungil nan polos. Tidak banyak yang memakai sanggul. Sebagian besar kartini-kartini kecil tersebut memakai jilbab dengan busana muslimnya. Sebagai informasi saja. Beberapa SD di Jepara untuk era sekarang memang diwajibkan memakai jilbab. Namun tetap dengan seragam sekolah yang berlengan pendek.

Perjalanan dilanjutkan. Saya menemukan lagi sekolah-sekolah. Situasinya tak jauh beda dengan SD tersebut. Begitu seterusnya.

Setelah melewati Kalinyamat, Tahunan, Ngabul, dan seterusnya, sampailah saya pada pusat kota. Di pusat kota tersebut, selain ada Pendopo Kabupaten, juga ada sebuah Museum yang khusus dibuat untuk mengenang Kartini. Museum Kartini. Ketika masuk ke dalamnya, kita akan disuguhi barang-barang peninggalan Kartini. Foto-foto dia dan keluarga, silsilah Kartini, surat-surat Kartini yang ditulis besar-besar pada pahatan kayu dan ditempel pada dinding, perabot-perabot rumah peninggalan Kartini, dan ada satu ruangan khusus untuk mengenang mendiang Sosro Kartono. Dia adalah kakak dari RA Kartini.

Pukul sepuluh lebih sedikit. Tak ada tanda-tanda akan datangnya keramaian di pusat kota tersebut. Selidik cari selidik, hari itu memang takkan ada pawai Kartini. Seseorang mengatakan pada saya, Jepara sekitar seminggu yang lalu sudah mengadakan pawai. Bukan pawai Kartini, tapi pawai untuk hari jadi kota Jepara. Sepertinya tidak mungkin untuk mengadakan perayaan yang sama untuk waktu yang berdekatan. Jadilah, hari Kartini hanya dirayakan dengan upacara di kabupaten. Seperti apa sih upacara Kartini di Jepara?

Jangan pernah membayangkan upacara Kartini laiknya upacara hari Senin pagi di sekolah. Ada podium untuk instruktur upacara di tengah lapangan, dan anggota upacara berdiri hikmat menghadap sang instruktur. Berikut upacara hari Kartini di kota kelahirannya.

Sebuah pendopo kabupaten ditata penuh kursi membentuk letter U. Kursi-kursi sebelah kiri dan tengah dipenuhi ibu-ibu dan remaja puteri. Sebelah kanan khusus untuk bapak-bapak dan remaja putera.

Pukul sembilan, perempuan-perempuan bersanggul sudah memenuhi kursi yang disediakan. Semua berpoles kecuali saya. Tampil anggun nan cantik. Mereka datang dari segala penjuru bidang. Pemerintah kabupaten memang mewajibkan setiap departemen pemerintah mengirimkan sepuluh orang pegawainya untuk merayakan hari bersejarah itu di Pendopo. Selain itu, beberapa dari sekolah-sekolah di Jepara dan instansi-instansi swasta yang mendapat undangan.

Upacara dilaksanakan layaknya sebuah acara seminar. Hanya saja dalam upacara Kartini tak ada pembicara.

Acara dimulai dengan pembukaan, lalu sambutan-sambutan. Selain itu ada pembacaan riwayat singkat dan pembacaan surat-surat Kartini.

Bagi kota Jepara, Kartini bukanlah satu-satunya pahlawan perempuan. Hendro Martojo, Bupati Jepara mengatakan bahwa Jepara mempunyai tiga tokoh perempuan yang membanggakan. Ratu Sima, Ratu Kalinyamat, dan RA Kartini.

Ratu Sima adalah tokoh yang hidup di era 5 masehi dan ia seorang pejuang keadilan. Ratu Kalinyamat hidup pada 15 M dan ia terkenal dengan kesucian pengabdian pada suami. Dan terakhir adalah Kartini, seorang pejuang emansipasi perempuan.

Dengan ketiga tokoh tersebut, sudah selayaknyalah perempuan Jepara menjadi pionir kemajuan. Atau minimal tidak kalah dengan perempuan-perempuan modern saat ini. Tidak tergantung pada laki-laki namun tetap mengerti kodrat perempuan sejatinya.

Perempuan Jepara

Nama saya Siti. Bekerja sebagai penjahit celana laki-laki. Hanya itu keahlian saya. Belajar menjahit dari tetangga, langsung setelah lulus SD. Seingat saya, saya lulus tahun 1996. Lha mau bagaimana lagi. Bapak hanya seorang petani. Saya sudah tidak punya seorang ibu. Saat itu kakak saya ingin menyekolahkanku ke SMP. Tapi banyak tetangga yang jail. “Kamu mbok yo mikir, masmu itu kan meh (akan) nikah. Kamu tidak kasihan apa ke masmu. Apa duite masmu cuma buat kamu?” begitu katanya.

Masku sendiri sih sebenarnya tidak keberatan menyekolahkanku. Tapi banyak perkataan tetangga yang menyudutkanku. Apa yang bisa dilakukan oleh anak kecil selain menangis. Menangis karena pupus harapanku untuk meraih cita-cita sekolah yang tinggi.

Sekarang saya hanya bisa menerima nasib. Pagi sekitar pukul delapan, saya mengayuh sepeda menuju kampung tetangga. Di sana ada banyak pengusaha konveksi. Saya bekerja di salah satunya. Hari-hari saya isi dengan menjahit. Tanpa mengenal lelah dan waktu. Tahu-tahu, sekarang saya berusia 23 tahun.

Selama hidup, sampai usia sekarang maksud saya, tak ada hal menarik yang kudapat selain hanya itu-itu saja. Sekali-sekali saya jalan-jalan ke kota Kudus. Rumah saya lebih dekat dengan kota Kudus. Saya tak kenal Jepara. Saya tidak berani jalan-jalan. Mungkin aneh, tapi itulah saya.

Pernah, sekali menyusuri kota Kudus, berusaha mengenal kota Kudus, itu saya lakukan baru satu bulan kemarin. Ya, biar tidak terlalu kuper kata orang. Saat itu saya tidak pergi sendiri tapi dengan salah satu teman perempuan.

Dengan kehidupan seperti ini, saya tetap bahagia. Jika dulu saya berontak dan saya acuhkan perempuan-perempuan usil tetangga saya itu, mungkin kehidupanku tidak seperti ini. Waktu memang tidak bisa diputar. Toh ini memang garis hidup saya.

Read More......